Friday, March 1, 2002

Kita Butuh Pemimpin Kuat

Hingga krisis multidimensional di negeri ini memasuki tahun keempat para tokoh pemimpin bangsa mulai dari presiden, wakil presiden, ketua MPR, ketua DPR serta tokoh informal tidak pernah memperlihatkan agenda yang jelas sehingga tujuan reformasi jadi mubazir. Tentu saja rakyat sangat kecewa dengan kinerja para pemimpin reformasi karena kita sudah hampir empat tahun menghabiskan waktu dengan sia-sia belaka. Banyak tokoh pemimpin bangsa tidak betul-betul dapat menyelesaikan persoalan bangsa dan negeri ini.Dalam masyarakat makin tumbuh kesadaran bahwa kelemahan perekonomian Indonesia bukan masalah temporer yang ditimbulkan krisis ekonomi atau pengaruh luar semata-mata, tapi masalah mendasar dalam bentuk kepercayaan, penegakan hukum, stabiltias politik dan keamanan, kepincangan struktural ekonomi Indonesia antara sektor minyak dan nonminyak, utang luar negeri pemerintah dan swasta. Sudah jelas bahwa suatu perubahan besar sangat dibutuhkan untuk membentuk Indonesia baru yang lebih demokratis dan sejahtera. Perombakan struktur sosial, politik, dan pemerintahan tidak dapat terlepas bahkan dipengaruhi dan mempengaruhi struktur ekonomi.

PERLU VISI JELAS

Di era multipartai banyak tokoh yang harus diperhitungkan. Tokoh itu bukan hanya tokoh formal seperti Presiden Megawati, tapi dapat diperluas dengan menyertakan tokoh lainnya seperti Hamzah Haz, Sultan Hamengkubuwono, Yusril Izha Mahendra, dan unsur TNI. Tokoh-tokoh itu tidak berhasil secara signifikan membawa perubahan karena tujuan dan agenda mereka tidak jelas. Malah makna perubahan terkesan ditekuk-tekuk oleh para tokoh reformasi.

Pemerintah Indonesia saat ini nyaris tidak punya visi. Hingga kini belum terdengar visi Indonesia tentang abad mendatang sebagaimana dimiliki Malaysia dan Singapura. Malaysia malah punya kejelasan strategi dengan visi 2020 mereka. Mungkin saja Malaysia tidak persis atau tidak sepenuhnya memenuhi targetnya, tapi minimal Malaysia punya peta dan strategi, misalnya bagaimana mengatur SDM, industri, pembangunan sosial, lingkungan. Semuanya sudah dipilah-pilah dan dipikirkan untuk menunjang keseluruhan visi 2020.Dengan tidak dimilikinya suatu visi yang substansial oleh Indonesia menyebabkan pola kebijakan pemulihan ekonomi menjadi penuh ketidakpastian. Indonesia memang mempunyai Propenas sebagai pengganti GBHN, tapi hal itu hanyalah angka-angka dan tidak jelas apa asumsinya, misalnya asumsi apa yang dipakai untuk mencapai angka itu. Tentu saja, jika terdapat asumsi berbagai pihak dapat menanyakan apakah asumsi itu betul atau tidak.

Atau bagaimana menjamin bahwa asumsi itu akan dapat dicapai. Hingga saat ini kita belum dapat menerjemahkan Propenas dengan lebih spesifik. Sebab itu visi baru sangat dibutuhkan dalam menghadapi resesi global karena visi lama semakin tidak kondusif dalam kehidupan keseharian dan tuntutan persaingan semakin meningkat persis ketika struktur kekuasaan global juga mengalami disintegrasi.Sebagai akibatnya Indonesia bisa "tersedot" persaingan global, sehingga menyebabkan suatu colosi (kehancuran). Dewasa ini kita menyaksikan "lubang-lubang" kelemahan kita semakin terbuka lebar dalam suatu sistem dunia yang tidak mengenal batas (borderless world).

Buat saya landasan visi pemimpin bangsa tetap harus jelas sehingga kondusif mencari solusi problema negara dan bangsa. Persoalan mendasar bangsa ini adalah bagaimana pemulihan ekonomi dapat berhasil mendongkrak kesejahteraan rakyat.

Sinergi para tokoh pemimpin bangsa diharapkan dapat mempengaruhi sikap masyarakat. Dalam empat tahun masa pemerintahan dilanda krisis, telah terjadi penurunan nilai-nilai moral, politik, sosial, ekonomi secara drastis, etos kerja terus merosot, animo untuk berbuat baik nyaris tidak ada yang memicu ketidakstabilan sosial, politik dan keamanan.

Pemimpin harus memiliki visi untuk mengambil langkah eksplisit dengan misi yang substansial dan para tokoh pemimpin bangsa harus menghilangkan kepentingan pribadi dan golongan. Jadi, kerja para tokoh pemimpin bangsa bukan untuk membagi-bagi kursi di kabinet. Karena mereka adalah pemimpin bangsa maka merekalah yang paling dahulu harus mengambil inisiatif.

Pesimiskah kita? Tentu saja kita harus optimis. Kepemimpinan bangsa ini diharapkan dapat menurunkan ketegangan di antara pendukung politik di tingkat "grassroots politics" khususnya ketegangan yang mungkin muncul akibat konflik di tingkat elit politik.Seluruh rakyat Indonesia sangat mengharapkan tokoh pemimpin bangsa dapat menyelesaikan agenda persoalan besar bangsa ini dengan segera tanpa terlampau lama mengorbankan dignity rakyat banyak. Dulu Gus Dur dan Mega diharapkan menjadi tokoh panutan yang dapat membawa keluar bangsa ini dari keterpurukan, tapi kinerja tokoh-tokoh ini kurang memuaskan karena mereka tidak punya visi yang jelas.

PEMIMPIN KUAT

Sebenarnya ukuran kemampuan seorang pemimpin adalah kepercayaan rakyat. Melalui proses seperti ini seorang pemimpin dapat diukur legitimasinya. Ini adalah bagian dari demokrasi. Meski rakyat tidak pernah mengajukan syarat tapi wacana itu berkembang melalui proses yang demokratis dan elegan pula.Sebenarnya keberhasilan seorang pemimpin itu sangat tergantung para pemimpin itu sendiri. Mereka harus bisa menghilangkan kepentingan kelompoknya. Jika para pemimpin berpikiran picik, maka agak sulit bagi rakyat untuk mempercayainya.

Dalam upaya memperkokoh konsensus nasional, kiranya persyaratan mutlak tentang arah dan cara-cara menyelamatkan arah reforamsi nasional yang sudah disepakati bersama oleh para tokoh nasional, mahasiswa, LSM dan rakyat Indonesia, merupakan pegangan bersama. Dalam bahasa politik dikatakan, harus ada konsensus nasional. Dengan ini, semua pihak bergerak atas landasan apa yang telah menjadi kesepakatan bersama itu.

Timbulnya perbedaan pandangan dapat dicari solusinya jika para pemimpin bangsa punya komitmen yang konsisten tanpa mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.Para pemimpin perlu mencari suatu keseimbangan ke arah moderasi seperti yang telah tertuang dalam konsensus nasional mengenai reformasi.

Dalam merespons masalah nasional senantiasa tidak hanya bisa diselesaikan dengan empat tokoh seperti Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung dan Hamzah Haz sebab persoalannya sudah menyangkut hubungan antar lembaga tinggi negara yaitu presiden, DPR, MPR, serta masyarakat.Pertanyaan signifikan di sini adalah: mampukah Indonesia bangkit dari keterurukan ini? Saya tetap optimis bahwa Indonesia dapat bangkit dari sakitnya. Untuk itu kita perlu membangkitkan rasa nasionalisme/kebangsaan yang lepas dari sekat-sekat primoridialisme dan kepentingan kelompok. Saya tidak yakin para pemimpin partai politik dapat membangkitkan nasionalisme itu karena partai politik sudah punya agenda kepentingan politik sendiri-sendiri. Karena itu dibutuhkan seorang tokoh panutan, seorang tokoh pemimpin pemersatu bangsa dan negara yang lepas dari sekat-sekat ideologi dan golongan.

Tokoh ini adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati dan disegani, seorang Gandhi di India, seorang Ayatullah di Iran, seorang Soekarno semasa revolusi, dan seorang Paus di Vatikan. Artinya tokoh panutan pemimpin bangsa-bangsa seperti itu haruslah seorang yang lintas wacana, lintas agama dan budaya.Sekarang tokoh seperti itu belum ada di Indonesia. Jika kita memiliki seorang tokoh pemersatu bangsa maka dia akan dapat menyelesaikan perselisihan antargolongan dan antarsuku dan agama. Di tengah krisis seperti sekarang kehadiran seorang "ayatullah" pemimpin panutan sangat dibutuhkan. Namun saya harus kecewa sebab jangankan seorang pemimpin, pemerintah saja kurang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah sendiri kurang memberi suri teladan kepada rakyatnya.

Misalnya, dalam krisis seperti sekarang para pemimpin bangsa selayaknya dapat hidup sederhana. Keteladanan melalui hidup sederhana akan dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyatnya. Pemerintah memang sudah membuat peraturan dan sering mengeluarkan statemen mengenai perlunya "sense of crisis", tapi realitas yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari sangat berlainan karena para pejabat hidup sangat mewah bertentangan dengan ucapannya. Akibatnya para pemimpin kita sering dipermalukan oleh rakyatnya.Semangat nasionalisme, hidup sederhana, semuanya harus dimulai dari pemerintah dan pemimpinnya. Berarti mulai dari pemimpin, aparat birokrasi tanpa kecuali. Jangan sampai terjadi seperti kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari-lari.”

Solusi apa pun dapat muncul dari setiap tindakan pemimpin perorangan dan komunitas di balik tindakan pemerintah untuk dapat menginkorporasikan semua ide, aspirasi dan visi itu menjadi visi bangsa. Pemerintah harus proaktif mencari dan menemukan visi manajemen penyelamatan dari krisis. Namun ketiadaan visi merupakan inti kelemahan bangsa ini. Tentu saja bagi mereka yang memegang posisi puncak di pemerintahan dapat mengintegrasikan semua visi yang cerdas dari perorangan dan komunitas kelembagaan karena hanya dengan visi kecerdikan dapat memberikan alternatif dan solusi bagi bangsa ini mengatasi krisis di era APEC 2020 dan AFTA tahun 2003 yaitu era ekonomi dan perdagangan bebas dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi.

Secara empirik ada tiga faktor yang patut dicermati berkaitan erat dengan hambatan bagi munculnya seorang pemimpin yang kuat di negeri ini. Pertama, pengaruh reformasi dan transformasi politik-sesuai dengan visi dan proyeksi struktur sosial, politik dan ekonomi. Kita sudah sepakat memilih reformasi bukan revolusi. Itu sebabnya seorang pemimpin yang kuat sulit timbul dalam situasi reformasi, kecuali dalam suatu revolusi.Kedua, transisi adalah faktor penghambat penting bagi sulitnya kemunculan seorang pemimpin yang kuat yang secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi pemerintahan yang terbentuk pasca reformasi di mana pemerintah memegang peranan penting dalam mengarahkan reformasi dan transformasi itu. Ketiga, pengaruh liberalisasi baik ekonomi dan politik yang berlangsung sejak lima tahun terakhir, secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi wawasan kepentingan, di mana kepemimpinan yang muncul adalah kepemimpinan yang kondusif kepada faktor eksternal yaitu kapitalisme internasional.

Keempat, faktor moral dan wisdom sangat mempengaruhi kebijakan pemimpin dan pejabat negara dalam mencapai tujuan jangka pendek. Sangat beralasan jika penulis mempunyai argumentasi bahwa tidak ada solusi yang canggih terhadap pengaruh reformasi dan transformasi sosial, politik dan ekonomi dan masih terdapat kesenjangan antara kebijakan politik dan kebijakan ekonomi.

Di balik semua itu, hegemoni IMF dan dominasi kreditor barat masih sangat hegemonik karena menyangkut hal-hal yang lebih prinsipil seperti pemulihan ekonomi dengan pinjaman luar negeri dan penyebarluasan paham demokrasi/demokratisasi dan HAM. Dewasa ini, ketiga hal itu merupakan suatu komponen yang begitu kuat menekan kebijakan pemerintah. Interdependensi dan primordialisme adalah faktor-faktor yang turut mempengaruhi langkanya kepemimpinan yang kuat di negeri ini.