Tuesday, August 5, 2008

Dimensi Sosial Politik Energi Nuklir

Energi nuklir seperti mata uang bersisi dua. Bisa bermanfaat untuk kesejahteraan manusia, tapi bisa juga memusnahkan manusia dengan segala peradabannya. Bermanfaat untuk kesejahteraan karena energi nuklir bisa menghasilkan listrik untuk kebutuhan manusia. Sebaliknya energi nuklir bisa dibuat senjata nuklir yang bisa memusnahkan manusia.

Dengan kemajuan iptek nuklir dewasa ini maka daya musnahnya tentu lebih hebat dan lebih dahsyat dari peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang menelan korban sekitar 220.000 orang. Bertolak dari kenyataan pemanfaatan ganda yang antagonistis tersebut, maka dimensi sosial politik berperan penting. Bahkan menentukan dalam mengatur pemanfaatannya yang bersifat mengikat.

Untuk mencegah penyalahgunaan pemanfataan energi nuklir menjadi senjata nuklir maka salah satu keputusan politik PBB ialah ditetapkannya Non Proliferation of Nuclear Weapons Treaty-NPT). Inti NPT, pertama, negara pemilik senjata nuklir dilarang mentransfer serta membantu, mendorong, membujuk negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir untuk mem- buat/memiliki senjata nuklir.

Kedua, negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir dilarang menerima transfer senjata nuklir dari negara pemilik senjata nuklir serta tidak mencari, menerima bantuan dalam pembuatan senjata nuklir. Ketiga, negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir mendapat jaminan keselamatan dari bahaya senjata nuklir.

Dalam NPT juga diatur bahwa setiap negara mempunyai hak untuk mengembangkan riset, produksi, dan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai tanpa diskriminasi, serta mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pertukaran peralatan, bahan, iptek, dan informasi teknologi untuk maksud-maksud damai dalam pemanfaatan energi nuklir.

Setelah NPT memiliki kekuatan mengikat sejak 5 Maret 1970, maka terbit pula "Declaration on The Zone of Peace, Freedom and Neutrality (Zophan)" yang ditandatangani di Kuala Lumpur, 27 Nopember 1971. Kemudian ada pula "Bangkok Treaty" 27 Maret 1997 yang merupakan perjanjian dari negara-negara Asia Tenggara yang menyatakan wilayahnya bebas senjata nuklir.
Di sisi lain, ada juga perjanjian yang melarang negara mana pun untuk melakukan percobaan ledakan senjata nuklir di manapun, sebagaimana diatur dalam "Comprehensive Nuclear-Test Nan Treaty". Perjanjian-perjanjian internasional (antara lain) tersebut dibuat dalam rangka mencegah penyalahgunaan energi nuklir menjadi senjata yang mengancam keselamatan manusia.

Untuk PLTN

Energi nuklir untuk PLTN juga tidak terlepas dari dimensi sosial-politik. Pertama, PLTN menghasilkan limbah radioaktif yang sangat berbahaya bagi keselamatan manusia dan lingkungan. Kedua, limbah radioaktif bisa dikelola menjadi plutonium sebagai bahan baku pembuatan senjata nuklir.

Bertolak dari latar belakang itu, maka kepedulian dan sorotan masyarakat atas persiapan, pengoperasian, dan penghentian PLTN sangat tinggi. Oleh karena itu, ada keputusan politik yang ikut mengaturnya.

Untuk pembangunan PLTN di Indonesia, aspek politik- nya cukup dominan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 13 Ayat 4 berbunyi: "Pembangunan Reaktor Nuklir Komersial sebagaimana yang dimaksud pada Ayat 3 yang berupa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR."

Dari pengertian normal, kata berkonsultasi sebenarnya tidak mengikat pemerintah atas hasil konsultasi itu. Artinya, pemerintah bisa jalan walaupun DPR berkeberatan. Namun, dalam era reformasi saat ini, kedudukan DPR sangat kuat dalam posisi dan perannya, maka pemerintah tidak berani mengambil risiko jalan sendiri tanpa dukungan DPR.

Di sisi lain, sikap kelompok masyarakat baik yang pro maupun yang kontra keberadaan PLTN di Indonesia, juga merupakan bagian yang harus diperhitungkan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan politik.

Khusus berkaitan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang anti-PLTN tentu itu menjadi beban politik tersendiri bagi pemerintah. Yang harus diupayakan ialah agar suara dan sikap dari kelompok anti-PLTN tidak meluas baik secara vertikal maupun horizontal. Kalau ini terjadi akan menjadi gerakan politik yang bisa merusak citra dan wibawa pemerintah. Kuncinya, harus dilakukan pendekatan politik yang persuasif, arif, dan bijaksana terhadap kelompok tersebut diimbangi dengan gerakan sosialisasi yang intensif, terpadu, dan terfokus dari pemerintah.

Apabila rencana pembangunan PLTN telah mendapat dukungan politik dari DPR dan masyarakat luas, belum berarti posisi politik pemerintah telah aman. Rencana pembangunan PLTN tentu akan dimonitor oleh dunia. Pasti ada negara yang bertanya bahkan mungkin curiga apakah rencana pembangunan PLTN di Indonesia benar-benar untuk tujuan damai bagi kesejahteraan rakyat atau ada tujuan terselubung, seperti membuat senjata nuklir. Pertanyaan dan atau kecurigaan seperti itu lumrah dalam hubungan antarbangsa, karena masing-masing negara mempunyai kepentingan tersendiri atas rencana pembangunan PLTN.

Diplomasi Nuklir

Dalam hal ini tugas pemerintah adalah mengintensifkan peran dan kemampuan diplomasi guna menjelaskan dan meyakinkan dunia internasional bahwa rencana pembangunan PLTN di Indonesia hanya untuk tujuan tunggal, yaitu bagi kesejahteraan rakyat. Diplomasi nuklir ini penting karena walaupun pemerintah dan DPR sepakat untuk membangun PLTN dan mendapat dukungan luas dari mayoritas rakyat Indonesia serta berbagi pihak, tetapi apabila ada kendala dari dunia internasional maka rencana pembangunan PLTN tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Selanjutnya, apabila PLTN telah dibangun dan siap beroperasi maka masih ada aspek politik lainnya yang perlu diperhatikan, yaitu terkait dengan kewenangan IAEA (Internasional Atomic Energy Agency) untuk melakukan pengawasan dan monitoring. Indonesia berkewajiban memberikan laporan rutin kepada IAEA tentang pengoperasian PLTN sesuai standar. Hal ini berlaku sebagai konsekuensi Indonesia menyetujui dan menerima Safeguard Agreement pada 14 Juli 1980. Apabila kita lalai memberikan laporan sesuai dengan jadwal dan atau menghalang-halangi kewenangan monitoring dan pengawasan IAEA, pasti akan mendapat sanksi.


Rencana pembangunan PLTN di Indonesia mengalami gonjang-ganjing karena, antara lain, diplomasi nuklir tidak ada riaknya dan sosialisasi kepada masyarakat tidak jalan.

Namun, penulis memahami kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum menerbitkan Keppres tentang dimulainya pembangunan PLTN sebagai follow-up Perpres No 5 Tahun 2006 karena momennya tidak kondusif, tidak tepat, dan risiko politik bagi SBY sangat besar. Kalau Keppres itu diterbitkan dalam masa persiapan pemilu maka hal tersebut akan men-jadi makanan empuk bagi partai-partai politik untuk mendiskreditkan kebijakan presiden.

Masyarakat Nuklir Indonesia tentu mengharapkan apabila SBY terpilih kembali menjadi presiden dalam Pilpres 2009 nanti, maka prioritas utama adalah menerbitkan Keppres untuk dimulainya pembangunan PLTN sebagai satu-satunya cara yang andal dan efisien guna mengatasi krisis energi. Apabila figur lain yang muncul sebagai presiden, harapan yang sama juga didambakan oleh Masyarakat Nuklir Indonesia.


Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), mantan anggota DPR/MPR.