Thursday, September 10, 2009

Bukit Kasih, Pacuan Kuda dan Keprihatinan

PADA 2001, Alm. Gubernur Sondakh mencanangkan pembangunan Bukit Kasih yang berlokasi di Kanonang, Minahasa. Rencana ini mendapat dukungan dari berbagai pihak mulai dari tokoh/pemimpin agama, kaum intelektual, para politisi maupun masyarakat luas, walaupun ada juga suara-suara sumbang yang arusnya lemah dan kecil sehingga tidak diperhitungkan.

Dengan label KASIH, maka Bukit Kasih tersebut diharapkan menjadi simbol dan sumber inspirasi dalam membangun dan memantapkan secara dinamis dan kreatif kehidupan kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara yang kemudian terefleksi pada pikiran, ucapan dan tindakan dari tiap warga Sulut apapun agama, jabatan dan pekerjaannya.
Pada saat peresmian Bukit Kasih 2002, tak tanggung-tanggung dihadiri oleh Mendagri Harry Sabarno (pada waktu itu). Tampak hadir para tokoh/pemimpin dari berbagai agama dengan perangkat pakaian kekudusannya, para politisi dan anggota legislatif dengan menempati tempat khusus dengan penampilan terhormat penuh wibawa, para kaum intelektual dengan berbagai gelar yang tersebar di berbagai tempat dengan mimik penuh tanya dan ingin tahu terhadap sesuatu yang jadi cirinya, kalangan pers yang sibuk kesana-kemari mencari berita dari para nara sumber serta berbagai lapisan masyarakat dari segala penjuru Sulut.

Pada acara pembukaan tersebut juga ditampilkan berbagai atraksi kebudayaan dengan kostum kebesarannya. Selama acara berlangsung, pidato dan komentar dari berbagai pihak yang berisi pujian kepada Alm. Gubernur Sondakh atas ide terobosan yang cemerlang dengan mewujudkan Bukit Kasih berkumandang. Bahkan doa keselamatan dan kesuksesan dari berbagai kelompok agama dikumandangkan dan dipersembahkan kepada Alm. Gubernur Sondakh. Mungkin pujian dari berbagai pihak yang dipersembahkan pada Alm. Gubernur Sondakh pada waktu itu melebihi pujian dari keberhasilan Nabi Suleman mendirikan Bait Allah.

Saat Alm. Gubernur Sondakh masih berkuasa, Bukit Kasih begitu ramai, menjadi tempat ibadah berbagai agama dari berbagai pelosok bukan saja dari Sulut tapi juga luar Sulut. Juga menjadi lokasi wisata domestik dari manca daerah dan mungkin juga mancanegara walaupun bersifat se-saat/non-rutin, tempat seminar dan diskusi berbagai pihak dengan berbagai topik. Bahkan berkembang gosip di lokasi itu juga menjadi tempat bertapa dari orang-orang tertentu untuk mendapat petunjuk dari opo leluhur mereka melalui bisikan suara atau mimpi bagaimana menjadi kaya, menjadi pejabat eksekutif, legislatif dan berkah hidup lainnya.

Namun setelah Alm. Sondakh mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur Sulut pada 2005 karena kalah dalam Pilkada dan kemudian dipanggil Sang Pencipta menghadap hadiratNya yang kudus, terasa dan terkesan, fakta berbicara Bukit Kasih saat ini hilang dari pemberitaan, sepi dari kegiatan, sunyi dari kunjungan (apalagi dari pejabat), lupa dari perhatian dan terkubur dalam kenangan.

Timbul pertanyaan mendasar: Mengapa terjadi demikian? Apakah Alm. Gubernur Sondakh salah perhitungan atau perencanaannya kurang matang? Jawabannya tidak mungkin karena proyek ini telah dikaji oleh berbagai ahli baik yang ada di kantor Gubernur maupun dari perguruan tinggi yang ada di Sulut. Jadi apakah dukungan dan komitmen yang diberikan oleh para tokoh/pemimpin agama, kaum intelektual dan para politisi atas kehadiran proyek Bukit Kasih bukan karena memahami dan menghayati nilai strategisnya bagi rakyat Sulut ke depan, tetapi hanya karena faktor emosional atau lebih parah lagi hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat fasilitas maupun untuk kenyamanan, keselamatan dan keuntungan politik dari kelompok tersebut di atas.

Kalau hal-hal tersebut yang menjadi latar-belakangnya, maka dapatkah dikatakan dukungan dan komitmen yang diberikan berbagai kelompok tersebut atas proyek Bukit kasih penuh kemunafikan. Kalau sinyalemen ini benar, maka itu berarti sangat kontradikrif dengan keadaan masyarakat Sulut yang agamais dan kehidupan penuh ibadah. Tapi itulah kenyataannya.

Apakah dengan kenyataan Bukit Kasih yang sunyi, sepi, dan redup dapat dikatakan telah terjadi pengingkaran iman, pelacuran intelektual dan pengkhianatan politik atas ide cemerlang dari Alm. Gubernur Sondakh dari kelompok-kelompok tersebut yang semula begitu antusias memberikan dukungan yang transparan, lantang dan menjanjikan.

Paling memprihatinkan kader-kader politik binaan Alm. Sondakh yang saat ini berkuasa di beberapa daerah di Sulut baik eksekutif maupun legislatif terkesan kuat bersikap tidak peduli lagi, mereka bersikap seperti kata orang Jakarte: emangnya gue pikirin. Bila Alm. Sondakh bangkit dari kuburnya dan menyaksikan perilaku para pendukung Bukit Kasih yang penuh kemunafikan dan pengkhianatan, tentu betapa kecewanya dia.

Akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan orang tentang proyek Pacuan Kuda dari Walikota Manado Jimmy Imba Rogi (JIR) berlokasi di wilayah Mapanget. Tidak tanggung-tanggung demi untuk meloloskan proyek tersebut, lokasi Plasma Nuftah pembibitan kelapa yang telah dikelola puluhan tahun dengan segala kontribusinya dan memiliki nilai strategis bagi bangsa dan dunia saat ini dan jangka panjang ke depan dikorbankan. Akibatnya timbul reaksi dari berbagai pihak mulai dari dunia akademik/rektor Unsrat, pejabat Departemen Pertanian, anggota DPD dan pihak-pihak lain. Di sisi lain banyak juga yang mendukung proyek tersebut dengan berbagai alasan seperti membuka kesempatan kerja, kepentingan pariwisata dan sebagainya. Walaupun disadari orang-orang yang memiliki kuda pacu di Sulut hanya terbatas pada segelintir orang yang terdiri dari para pejabat.

Dibandingkan dengan proyek Bukit Kasih, maka proyek Pacuan Kuda penuh kerawanan. Bagi Walikota Manado. Sebagai Walikota yang memiliki kekuasaan apalagi didukung dengan posisi Ketua Umum parpol terbesar di Sulut, tidak sulit bagi JIR untuk merealisasinya. Sebagai politisi handal, tentu mampu merekayasa dukungan dari berbagai pihak baik dengan cara-cara santun maupun di luar kesantunan.

Namun dukungan politik belum cukup untuk menjadi jaminan berhasilnya proyek Pacuan Kuda tersebut. Ada hal-hal mendasar yang harus diperhatikan yaitu:

1.Proyek ini meninggalkan kekesalan (ekstrimnya bisa dikatakan dendam) bagi kaum akademisi murni di daerah dan di Pusat karena dikorbankannya area Plasma Nuftah yang menjadi tempat pengabdian dan kebanggan para peneliti berpuluh tahun dan potensi ini ke depan akan membesar karena rasa solidaritas yang tinggi antar sesama akademisi.

2.Untuk mengejar penyelesaian pembangunan proyek ini terkait dengan program “Manado Kota Wisata Dunia 2010” tentu akan terjadi negosiasi penganggaran baik di daerah dan di Pusat yang bukan tidak mungkin di luar aturan dan kalau ini terjadi akan menyimpan bom waktu yang akan meledak pada saatnya. Dalam hal ini pasti akan terjadi sikap cuci tangan yang lebih jahat dari Pilatus.

3.Kekhawatiran bermanfaatnya proyek ini sebagai sumber pendapatan daerah yang menguntungkan mengingat berkaca dari pengalaman Pacuan Kuda Tompaso yang sepi dari kegiatan.

4.Proyek ini bisa menjadi jebakan untuk menghancurkan karir politik dari JIR yang sedang bersinar karena keberhasilan menertibkan PKL yang tidak pernah berhasil dilaksanakan oleh semua Walikota sebelumnya, dan menjadi pesaing yang menakutkan bagi mereka yang akan terjun dalam Pilkada Gubernur Sulut 2010.

5.Dukungan politik yang diraih dari berbagai pihak untuk pembangunan proyek Pacuan Kuda tersebut harus benar-benar konsisten, konsekuen dilandasi sikap kejujuran dan keterbukaan jauh dari kemunafikan sehingga celah untuk terjadinya pengkhianatan sangat sempit. Untuk itu perlu dilakukan pengamanan berlapis.

Berkaca dari pengalaman proyek Bukit Kasih sebagaimana kami utarakan di atas, maka JIR harus mengantisipasi kerawanan-kerawanan tersebut di atas dengan langkah-langkah konkret, cerdas dan berkualitas. Jangan hanya terpaku pada manfaat dan keberadaan proyek Pacuan Kuda tersebut hanya pada saat menjabat Walikota, tetapi harus memperhitungkan secara cermat dan akurat segala dampaknya sesudah itu. Sedangkan proyek Bukit Kasih yang memakai label KASIH terjadi pengingkaran, pelacuran dan pengkhianatan(?), apalagi proyek Pacuan Kuda yang penuh kontroversi.

Jangan sampai proyek tersebut nanti jadi boomerang yang memprihatinkan bagi karir dan kehidupan tetapi sebaliknya menjadi kenangan manis karena memberi manfaat yang signifikan bagi rakyat secara berkelanjutan.

Obama Mengubah Peta PLTN Dunia

Sejak kecelakaan PLTN Three Miles Island tahun 1979, praktis tidak ada lagi pembangunan PLTN baru di Amerika Serikat. Langkah itu diikuti beberapa negara di Eropa. Bahkan, Jerman, di bawah kepemimpinan Kanselir Schroeder, memutuskan, tahun 2020 tidak ada lagi PLTN yang beroperasi di negara itu. Namun, keputusan Schroeder ini dikoreksi penggantinya Kanselir Angela Merkel. Langkah itu diambil juga karena tekanan LSM, seperti Greenpeace, yang anti-PLTN, sehingga keberadaan PLTN bukan hanya menyangkut masalah teknis dan lingkungan, tetapi menjadi isu politik yang menggema ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Gerakan anti-PLTN yang dimotori LSM mulai kencang suaranya awal 1990-an bersamaan dengan persiapan pembangunan PLTN di Indonesia.
Krisis minyak, yang puncaknya 2008, saat harga minyak US$ 150 per barel, menyadarkan negara-negara industri supaya tidak lagi menggantungkan diri pada minyak. Harus dilakukan diversifikasi untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat. Dari berbagai opsi yang dipertimbangkan, PLTN menduduki urutan teratas. Beberapa tokoh lingkungan global, seperti Dr Patrice Moore, Prof J Lovelock, dan Bruno Comby yang semula antipembangunan PLTN, akhirnya dengan pertimbangan rasional dan objektif mendukungnya untuk mengatasi krisis energi dan lingkungan.
Pada kampanye Pemilihan Presiden AS tahun 2008, rival utama Obama, yakni John Mc Cain dalam pidato kampanye di Houston dan Universitas Missouri, Juni 2008, menyatakan niatnya untuk membuat kebijakan meningkatkan kapasitas nuklir domestik secara signifikan dengan membangun 45 reaktor nuklir sampai 2030. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidato di depan Konferensi Ekonomi Partai Kristen Demokrat, pertengahan Juni 2008, mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menutup PLTN merupakan kesalahan dan harus direvisi.
Obama, yang memenangkan pemilihan presiden karena mampu meyakinkan rakyat AS dengan isu perubahannya, menggegerkan dunia dalam pidatonya di Praha, 5 April 2009, pada puncak KTT AS-Uni Eropa. Pidato Obama yang menggegerkan itu terkait dengan pernyataannya: "Hari ini saya menyatakan dengan sangat yakin dan jelas komitmen AS untuk mencari perdamaian dan keamanan sebuah dunia tanpa senjata nuklir". Di sisi lain, ada pernyataan Presiden Obama yang sangat maju, yakni "Kita perlu membangun jejaring kerja untuk kerja sama nuklir sipil, termasuk sebuah bank bahan bakar internasional, sehingga negara-negara dapat mengakses energi nuklir untuk tujuan damai tanpa meningkatkan risiko proliferasi. Hal ini merupakan hak tiap negara untuk mengumumkan kembali nuklir, terutama negara-negara berkembang, yang ingin menggunakannya untuk tujuan damai. Yang juga mengejutkan, pidato Obama yang menegaskan: "Kami akan mendukung hak Iran untuk energi nuklir bagi tujuan damai dengan inspeksi yang baik".
Pernyataan Obama itu telah mengubah peta PLTN dunia karena,
Pertama, setiap negara tanpa rasa takut dan ragu akan menggunakan haknya untuk memanfaatkan energi nuklir karena pasti AS tidak akan intervensi atau menekan asal untuk tujuan damai.
Kedua, perubahan iklim dewasa ini, karena kerusakan lingkungan akibat ulah manusia di mana sumbangan bahan bakar fosil cukup besar dibandingkan dengan energi nuklir yang ramah lingkungan, pasti banyak negara akan beralih pada opsi pemanfaatan energi nuklir, karena alasan ekonomi dan lingkungan.
Ketiga, negara-negara di dunia yang semula mengacu/terpengaruh pada kebijaksanaan AS yang menghentikan pemanfaatan energi nuklir untuk membangun PLTN setelah peristiwa Three Miles Island, dengan pernyataan Obama itu, pasti opsi energi nuklir akan menjadi pilihan kembali, karena idolanya AS, berubah sikap.
Keempat, setiap negara yang akan memanfaatkan energi nuklir untuk tujuan damai tidak perlu khawatir tentang pasokan bahan bakar, karena ada bank bahan bakar internasional yang menyediakannya. Kelima, dengan sikap Presiden Obama yang mendukung hak Iran memanfaatkan energi nuklir bagi tujuan damai, maka negara-negara berkembang akan merasa bebas untuk mengambil opsi memanfaatkan energi nuklir bagi tujuan damai.
Di Indonesia Pembangunan PLTN secara signifikan telah dicanangkan Presiden SBY. Namun, rencana ini terganggu, karena penolakan dari sekelompok masyarakat yang mendapat dukungan dari sejumlah politisi yang tidak konsisten. Sangat memprihatinkan juga karena adanya sikap berseberangan dari pembantu presiden yang tidak sejalan dengan presiden dan menolak rencana pembangunan PLTN dengan alasan yang tidak benar serta tidak mencerdaskan rakyat.
Yang menolak PLTN, baik terorganisasi maupun perorangan, karena mengacu pada sikap AS setelah kecelakaan Three Mile Island. Dengan pernyataan Obama tersebut kiranya tidak akan dicari-cari lagi alasan lain untuk menolak PLTN. Senang atau tidak, pro atau kontra, opsi nuklir untuk mengatasi krisis energi bangsa serta iklim global merupakan opsi prioritas, karena alasan objektif dan rasional, apalagi harga minyak saat ini mulai meningkat. Adalah dosa besar apabila ada yang menolak kehadiran PLTN di Indonesia hanya karena kepentingan sesaat dan pihak lain kemudian mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Penulis adalah Anggota DPR/MPR periode 1987-1999 dan Anggota HIMNI

Wednesday, September 9, 2009

PLTN Terapung dan Prospeknya

Saat ini, 436 unit pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas 370.221 MWe beroperasi di 31 negara. Lokasi semua PLTN berada di darat, dekat laut atau sungai, karena memerlukan pasokan air yang cukup dan terjamin. Dewasa ini, sedang dikembangkan PLTN terapung. Yang dimaksud dengan PLTN terapung adalah PLTN yang dipasang di atas tongkang atau kapal lengkap dengan switchyard dan peralatan tansmisi yang dapat berpindah tempat dengan menarik tongkang/kapal tersebut dengan kapal lain.

Gagasan pertama tentang PLTN terapung konon berasal dari Richart Eckert, Wakil Presiden New Jersey Public Service and Gas Amerika Serikat. Westinghouse Corporation dan Tenneco telah menunjuk perusahaan barunya, Offshore Power Systems, untuk membangun beberapa unit PLTN terapung dari jenis PWR dengan kapasitas masing-masing 1.150 MWe yang akan ditempatkan 12 mil di timur laut Atlantic City dan semula direncanakan beroperasi 1980-1981. Namun, proyek ini dihentikan, karena berbagai alasan, seperti penolakan dari pihak penguasa, masyarakat, dan kelemahan dari segi ekonomi.

Di Indonesia terdapat contoh pembangkit listrik terapung, yaitu PLTG (pembangkit listrik turbin gas) yang dibuat oleh PT PAL bekerja sama dengan perusahaan Ishikawajima Harima Heavy Industries dari Jepang. PLTG tersebut berkapasitas 30 MW dan terletak di atas tongkang yang dilengkapi dengan penyimpanan bahan bakar solar dan switchyard. PLTG terapung ini dipesan dan dioperasikan PT PLN di sektor Barito, Gardu Induk Seberang Barito, di tepi Sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Riwayat PLTN terapung sebagai sumber energi di Rusia sangat panjang, yang berawal dari penggunaan reaktor nuklir ini untuk sumber energi bagi propulsi kapal pemecah es.

PLTN terapung sebenarnya telah dikumandangkan pada 1999. Awalnya, PLTN terapung ini telah mendapat izin dari Ros-tech-nadzor (seperti Bapeten Indonesia), baik mengenai desain, tapak maupun pembangunan pembangkit listrik terapung. Kemudian, 28 Oktober 2002, Kementerian Tenaga Nuklir Rusia memberikan persetujuan resmi atas desain teknis sebuah PLTN terapung dengan modifikasi/nama KLT-40S dan mendanai proyek ini mulai akhir 2002.

Pembangunan PLTN terapung pertama di dunia ini menghasilkan listrik dan panas. Lokasinya semula adalah Pevek, di Chukotka (pantai utara Rusia wilayah barat laut). dan direncanakan beroperasi mulai 2008. Rincian teknis PLTN Terapung Pevek ini antara lain kapasitasnya (minimal) 2x35 MWe, daya pemanasan (minimal) 2x25 Gkal/jam, memiliki dua reaktor yang dipasang di atas tongkang. Tongkang itu sepanjang 140 m, lebar 30 m, tinggi lambung 10 m, bagian di bawah air 5,6 m, bobot mati 21.000 ton dan umur ketahanan keseluruhan 40 tahun. Di atas tongkang itu terdapat enam kompartemen, yaitu di samping kompartemen reaktor, juga kompartemen khusus untuk penyimpanan bahan bakar bekas, kompartemen turbin generator, kompartemen mesin listrik, kompartemen alat bantu, dan konpartemen tempat tinggal. Ternyata rencana Khukotka ini baru sampai pada nota kesepakatan. Kemudian, penempatan KLT-40S dipindahkan dari Pevek ke Severodvinsk (pantai utara Rusia wilayah barat laut). Rencana pembangunannya baru akan dimulai pada 2011.


Peluang

PLTN terapung dengan kapasitas di bawah 100 MWe ini sangat cocok di Indonesia, sebagai negara kepulauan, untuk ditempatkan di daerah-daerah yang sering mengalami krisis listrik, karena kapasitasnya terbatas. Para pimpinan daerah perlu mengetahui keberadaan PLTN rerapung ini sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan pasokan listrik di daerahnya. Sebagaimana diketahui PLTN terapung di samping menghasilkan listrik, juga melakukan proses desalinasi yang dapat menghasilkan air bersih.

Disadari, masalah energi di Tanah Air kita tidak mungkin lagi diatasi dengan pembangunan pembangkit listrik konvensional yang berbasis bahan bakar fosil, karena berbagai masalah, seperti pemasokan, lingkungan, dan kondisi alam. Untuk itu, perlu terobosan baru dengan perencanaan matang serta perhitungan cermat dengan risiko terendah.

Namun, pembangunan PLTN terapung tidak sepi dari tantangan. Di Rusia, Green Cross menentang pembangunan PLTN terapung ini dengan berbagai alasan, seperti hitungan biaya terlalu murah, membahayakan lingkungan, menimbulkan bahaya proliferasi dan terorisme, Kita pahami LSM yang anti-PLTN pasti selalu mencari alasan apa pun sebagai dasar untuk menolak kehadirannya di suatu wilayah. Kendala lain untuk pembangunan PLTN terapung adalah belum adanya safety regulation secara internasional dari IAEA, karena pada umumnya, baik IAEA maupun negara-nagara pemilik PLTN dan belum memiliki PLTN seperti Indonesia, baru memiliki safety regulation untuk pembangunan PLTN di darat.

Sejalan dengan proses waktu, saya yakin kendala ini akan segera teratasi bersamaan dengan kebutuhan energi yang terus meningkat dengan harga yang kompetitif. Usaha sosialisasi atas proyek PLTN terapung juga memegang peranan penting untuk mengatasi berbagai kendala.

Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota DPR/MPR. Sumber tulisan ini buku karya Mursid Djokolelono, berjudul PLTN Terapung untuk Produksi Listrik dan Air Bersih, Sebuah Opsi Bagi Wilayah Kepulauan
________________________________________

MHI, Unggulan Energi Nuklir Jepang

Teknologi energi nuklir yang komponennya terdiri dari reaktor, turbin, generator, dan transmisi, pada umumnya diproduksi dan dimiliki oleh perusahaan swasta, seperti Westinghouse dan General Electric di AS serta Areva di Prancis. Di Asia, seperti Jepang, dirintis oleh MHI (Mitsubishi Heavy Industries) dan Toshiba bersama Hitachi.

Khusus MHI, yang berkembang menjadi pusat unggulan energi nuklir Jepang, sejarah keberadaannya cukup panjang. Lahir pada 1884, penemu Mitsubishi Yataro Iwasaki mengambil alih perusahaan milik Pemerintah Jepang bernama Nagasaki Shipyard, kemudian diubah namanya menjadi Nagasaki Shipyard & Machinery Works dengan bisnis awal pembuatan kapal. Bisnis kapal ini kemudian diubah menjadi Mitsubishi Shipbuilding Co.Ltd. Pada 1934, berubah nama lagi menjadi Mitsubishi Heavy Industries Ltd, dan muncul sebagai firma swasta terbesar di Jepang yang, membuat kapal, mesin berat, pesawat, dan mobil.

Bisnis MHI meliputi produksi di bidang energi, ruang angkasa, lingkungan, mesin industri, pesawat terbang, kapal dan kelautan, peralatan, otomotif, infrastruktur, pertahanan, living, dan leisure. Khusus di bidang teknologi energi nuklir, MHI adalah spesialis dalam reaktor jenis PWR. PLTN I yang beroperasi di dunia adalah di Obninks, Rusia (dulu Uni Soviet) memakai reaktor jenis PWGR (Pressurized Water Graphite Reactor) Dalam perkembangannya ada beberapa jenis reaktor nuklir untuk PLTN seperti RBMK, GCR, PWR, BWR, CANDU, dan FBR. .

Sejak 1950, MHI untuk pertama kali memulai litbang pembangkit listrik tenaga nuklir. Setelah melalui kerja keras bertahun- tahun dengan interaksi berbagai pihak di dalam dan luar negeri, maka pada 1970 MHI berhasil membangun PLTN pertama di Fukui dengan nama Mihama-I dengan kapasitas 320 m. Teknologi reaktornya diadopsi dari luar negeri, yaitu jenis PWR (Pressurized Water Reactor).

Setelah hampir 40 tahun pengalaman membangun dan merawat PLTN di Jepang, kini MHI telah menjadi perusahaan energi nuklir unggulan Jepang yang mandiri dan terintegrasi dengan menyediakan seluruh fase mulai dari desain, pemilihan tapak, konstruksi, bahan bakar, operasi, dan perawatan pembangkit.

Jenis reaktor yang dipakai dan dikembangkan oleh MHI dalam PLTN adalah PWR, yang telah melalui empat generasi, di mana setiap generasi ada perbaikan dan pengembangan teknologi serta sistemnya. Saat ini, terdapat 53 unit PLTN yang beroperasi di Jepang. Dari jumlah itu, 23 unit tipe PWR buatan MHI. Kemajuan teknologi energi nuklir dari MHI sampai mencapai perusahan energi nuklir yang terintegrasi dengan reputasi mengglobal disebabkan dukungan litbang yang luar biasa. MHI memiliki lima laboratorium yang berkonsentrasi pada teknologi spesifik dan satu laboratorium sebagai Pusat Litbang Teknologi Maju yang fokus pada teknologi maju masa depan.


Diakui Dunia

MHI berkembang dan menjadi pemain global, di mana berbagai produk teknologi energi nuklir telah diakui dan dimanfatkan oleh berbagai negara. Untuk mendukung operasi globalnya, MHI memiliki kantor perwakilan di berbagai penjuru dunia yang meliputi: Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Australia.

Sebagai pemain global, beberapa kegiatan MHI yang patut diungkapkan.

Pertama, kerja sama antara MHI dan perusahaan Areva (Prancis) dengan membentuk joint venture company yaitu Atmea, yang mulai membangun lisensi, pemasaran, dan penjualan Reaktor Atmea-I yang berkapasitas 1.100 MWe, sebagai jawaban untuk memenuhi kebutuhan pasar atas reaktor berkapasitas menengah.

Kedua, sertifikasi desain PLTN bernama US-APWR (United States Advanced Pressurized Water Reactor). Sertifikasi desain akan diperoleh dari US-NRC (Nuclear Regulatory Commission) pada pertengahan 2011, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan dua unit US-APWR di Commanche Peak Nuclear Generating Station milik Luminant Power. US-APWR adalah PLTN berdaya listrik terbesar di dunia dengan kapasitas 1.700 MWe dan dengan efisiensi paling tinggi. Menurut rencana, PLTN ini (US-APWR) beroperasi pada 2016.3.

Di samping Amerika Serikat dan Prancis, negara-negara lain, seperti: Finlandia, Jerman, Inggris, Spanyol, Italia, dan Rusia juga menjalin kerja sama dengan MHI. Demikian pula dengan beberapa negara Asia seperti Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, Thailand, Vietnam, Turki, tembus ke Meksiko dan Brasil.

Dari kerja sama itu, yang patut dibanggakan adalah kerja sama MHI dengan negara pionir di dunia yang memiliki PLTN terbanyak, yaitu Amerika Serikat (104 unit yang sedang beroperasi)) dan Prancis (59 unit). Kedua kerja sama itu membuktikan bahwa teknologi energi nuklir MHI diakui dan dipercaya untuk dimanfaatkan di negaranya (seperti di Amerika Serikat dengan US-APWR) atau untuk memenuhi kebutuhan pasar seperti Atmea-I yang sedang menjajaki negara-negara berkembang, seperti Vietnam dan Thailand.

Berdasarkan uraian itu, di samping sebagai unggulan teknologi energi Jepang, MHI telah menjadi pemain global yang teknologinya diakui dan dipercaya sejajar dengan teknologi negara-negara maju, seperti Prancis dan Amerika Serikat. Dengan keberhasilan yang dicapai MHI, maka bertambah referensi Indonesia dalam rangka pembangunan PLTN nantinya.

Penulis Anggota HIMNI dan mantan Anggota MPR/DPR

Soeharto: Nuklir untuk Kemakmuran Rakyat

Pada 16 Februari 2009 dalam dialog di televisi bertema Pengusaha Bertanya, Parpol Menjawab atas pertanyaan pengusaha kondang Arifin Panigoro: "Apakah Partai Golkar setuju dengan penggunaan energi nuklir untuk pembangkit listrik di Indonesia?", Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) menjawab bahwa Golkar menolak energi nuklir dikembangkan.

Dari berbagai pemberitaan media massa, pada intinya tiga alasan penolakan. Pertama, adanya penolakan masyarakat bila di wilayahnya dibangun PLTN, walaupun mereka setuju dengan energi nuklir. Kedua, di Indonesia banyak terjadi gempa, sedangkan teknologi nuklir saat ini belum aman dan bersahabat. Ketiga, orang Indonesia agak ceroboh dibandingkan dengan Jepang.

Sikap Golkar yang disuarakan oleh JK sangat bertentangan dengan visi yang strategis dan tajam dari mantan Presiden Soeharto, tokoh yang paling berjasa membesarkan Golkar. Dalam sambutannya pada upacara peresmian instalasi pengolahan limbah radioaktif BATAN pada 5 Desember 1988 di Serpong, Soeharto mengatakan, kemajuan iptek nuklir akan disumbangkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kemudian pada upacara peresmian Instalasi Radiometalurgi serta Instalasi Keselamatan dan Keteknikan Reaktor pada 12 Desember 1990 di Puspitek Serpong, Soeharto juga mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 tahun yang akan datang, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada, seperti air, panas bumi, gas alam, dan batu bara tidak akan mencukupi. Karena itu, mulai sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun pusat listrik tenaga nuklir.


Tak Perlu Ragu

Penggunaan tenaga nuklir memang mengandung risiko. Risiko itu selalu ada dalam penggunaan teknologi mana pun. Dengan membuat perencanaan secara cermat khususnya yang menyangkut faktor keamanannya, kita tidak perlu ragu dalam menerapkannya. Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi risiko yang telah kita perhitungkan, karena risiko juga merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan mampu menjadi bangsa yang maju. Lagi pula, dewasa ini perkembangan teknologi nuklir telah demikian maju, sehingga apabila semua unsur keamanan diperhatikan, risiko terjadinya kecelakaan sangat kecil.

Pada sisi lain, Soeharto sangat percaya pada SDM Indonesia, yang ditegaskannya dalam sambutan pada peresmian Instalasi Spektometri Neutron dan Laboratorium Sumber Daya dan Energi pada 20 Agustus 1992 di Serpong. Dalam acara tersebut, Soeharto berkata: "Saya percaya bahwa bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah berhasil membangun candi-candi yang sangat indah arsitekturnya dan bertahan ratusan tahun. Nenek moyang kita juga membangun armada laut yang telah mengarungi samudra luas. Penjajahlah yang telah membuat kita lemah dan kurang percaya diri. Karena itu, setelah menjadi bangsa yang merdeka kita harus dapat bangkit kembali untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju".

Ketiga sambutan Soeharto tersebut disampaikan dalam rangkaian peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir di kawasan Puspitek Serpong yang diawali dengan peresmian beroperasinya Reaktor Nuklir Serbaguna GA Siwabessy dan Instalasi Pembuatan Elemen Bahan Bakar Nuklir pada 20 Agustus 1987. Dari ketiga pernyataan itu dapat diambil kesimpulan bahwa pertama, Soeharto sangat percaya pada kemajuan dan manfaat iptek nuklir untuk kesejahteraan rakyat termasuk manfaat pembangunan PLTN. Kedua, berani mengambil keputusan apa pun risiko dan tantangannya setelah melalui persiapan dan perencanaan yang cermat. Ketiga, sangat percaya pada SDM Indonesia sebagaimana telah dibuktikan oleh nenek moyang kita.


Sangat Relevan

Seharusnya, JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam kaitan dengan pembangunan PLTN harus belajar dan mewarisi visi dan strategi Soeharto sebagai mahaguru Golkar, bukan membuat pernyataan yang jauh di bawah kualitas dari visi dan strategi Soeharto. Lepas dari kita senang atau tidak, pro atau kontra terhadap Soeharto, pernyataan Soeharto tersebut sangat relevan dengan tuntutan dan tantangan bangsa dewasa ini dan ke depan dalam kebijakan energi. Bangsa yang memiliki harga diri dan percaya diri, serta rasa kebangsaan yang kental, pasti akan mendukung visi dan strategi Soeharto.

Mengenai penolakan masyarakat atas pembangunan PLTN di wilayahnya, sebagaimana dikatakan JK, sebenarnya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyosialisasikan PLTN. Apabila sosialisasi PLTN dilaksanakan pemerintah secara intensif, jujur, terbuka, dan objektif, penulis yakin masyarakat tidak akan ragu untuk menerima, bahkan sangat mendukung kehadiran PLTN di wilayahnya. Dibandingkan dengan Jepang, yang rakyatnya sangat trauma dengan bom atom akibat peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, yang menelan korban tewas sekitar 220.000 jiwa, akhirnya menerima pembangunan PLTN di negaranya setelah melalui sosialisasi intensif yang dilakukan pemerintah. Adalah sangat ironis dan memprihatinkan apabila pembangunan PLTN di Indonesia, pemerintah yang memiliki segalanya baik dana, prasarana, sarana, informasi, maupun kuasa kalah pada LSM dalam soal sosialisasi.
Gempa yang sering terjadi di Indonesia sebagai alasan Golkar yang dijurubicarai JK menolak PLTN adalah sikap mengingkari kenyataan serta tidak paham atau tidak mau paham atas perkembangan teknologi reaktor nuklir yang diaplikasikan dewasa ini. Frekuensi gempa di Jepang mungkin lebih tinggi dari di Indonesia, namun Jepang dewasa ini memiliki 53 unit PLTN yang sedang beroperasi dan 2 unit yang sedang dibangun (data PRIS-IAEA per 22-02-2009). Hal ini terjadi karena lokasi PLTN telah melalui penelitian dan kajian yang sangat matang dan didukung oleh teknologi nuklir yang paling maju dan aman, serta terus dimutakhirkan. Apalagi dewasa ini sistem keselamatan/keamanan reaktor nuklir diterapkan dengan sistem pertahanan berlapis (defence in depth) yang meliputi komponen reaktor, sistem proteksi reaktor, konsep hambatan ganda, pemeriksaan, dan pengujian, serta pendidikan dan pelatihan para operator sesuai dengan standar persyaratan internasional yang sangat ketat dan terus diupgrade sesuai perkembangan teknologi. Dengan sistem pertahanan berlapis itu, risiko terjadi kecelakaan yang membahayakan manusia dan lingkungan sangat kecil kemungkinannya.

Kemudian, penilaian Golkar yang menolak PLTN dengan alasan SDM Indonesia sedikit ceroboh dibandingkan dengan Jepang, sebenarnya Golkar yang ceroboh dan salah menilai, karena sangat bertentangan dengan kenyataan dan di sisi lain melecehkan SDM Indonesia. Saat ini, ada tiga reaktor nuklir yang sedang beroperasi masing-masing Reaktor Triga Mark II (1965) di Bandung, Reaktor Kartini (1979) di Yogyakarta dan Reaktor Serbaguna Siwabessy (1987) di Serpong, yang seluruh operatornya adalah putra bangsa terbaik hasil didikan dalam dan luar negeri.

Sejak beroperasi sampai sekarang reaktor-reaktor itu tidak pernah bermasalah yang membahayakan manusia dan lingkungan. Kenyataan ini membuktikan bahwa putra bangsa yang mengoperasikan seluruh reaktor bukan yang ceroboh, tetapi yang memiliki disiplin tinggi dan budaya kerja prima yang tidak kalah dengan SDM Jepang, dan negara lainnya.

Dari uraian tersebut, seharusnya pandangan, visi dan strategi Soeharto tentang iptek nuklir dan kehadiran PLTN di Indonesia menjadi amanah Golkar untuk direalisasikan. Pandangan, visi, dan strategi tersebut sangat relevan, bahkan menjadi prioritas utama dalam menjawab tuntutan dan tantangan bangsa di bidang energi, dewasa ini.

Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota MPR/DPR

Monday, September 7, 2009

Keselamatan Reaktor Nuklir

Berdasarkan arti sesungguhnya reaktor adalah tempat berlangsungnya reaksi. Sedang ditinjau dari proses reaksinya terdapat beberapa jenis reaktor, yaitu reaktor kimia, reaktor bakar, dan reaktor nuklir.

Ditinjau dari fungsinya, reaktor nuklir dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni reaktor penelitian/riset dan reaktor daya. Dari reaktor penelitian, yang diutamakan adalah pemanfaatan neutron yang dihasilkan dari reaksi nuklir untuk keperluan penelitian dan produk radioisotop, sedangkan panas yang dihasilkan dirancang sekecil mungkin, sehingga dapat dibuang ke lingkungan. Dari reaktor daya, yang dimanfaatkan adalah uap yang bersuhu dan bertekanan tinggi, yang dihasilkan reaksi fisi untuk memutar turbin, sedangkan neutron yang dihasilkan sebagian diserap dengan elemen kendali dan sebagian diubah menjadi neutron untuk berlangsungnya reaksi berantai.

Reaktor nuklir pada PLTN merupakan bagian yang sangat vital dari fasilitas bangunan PLTN di samping turbin dan generator. Sangat vital karena dalam reaktor nuklir terjadi proses fisi yang menghasilkan bahan radioaktif (hasil belah) yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, desain dan struktur bangunan reaktor nuklir harus benar-benar kukuh, tangguh, komponennya harus memenuhi standar kualitas yang tinggi dan andal, menjamin tidak akan ada efek kecelakaan yang mengakibatkan bahan radioatif tersebar ke lingkungan.

IAEA (International Atomic Energy Agency) menerbitkan persyaratan keselamatan desain reaktor nuklir yaitu Safety of Nuclear Power Plants: Design Safety Requirements (Safety Standards Series No. NS-R-1. Diterbitkan juga beberapa pedoman teknis desain dan struktur komponen utama reaktor nuklir sebagai penjabaran persyaratan tersebut. Di tingkat nasional, BATAN telah menyiapkan pedoman pemanfaatan Sistem Energi Nuklir sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BATAN No 144/KA/X/2006 tentang "Pedoman Penerapan dan Pengembangan Sistem Energi Nuklir Berkelanjutan di Indonesia".

Setelah peristiwa Cherno- byl 22 tahun yang lalu, Keselamatan Reaktor Nuklir makin diperketat dengan berbagai aturan yang dikeluarkan oleh IAEA yang harus ditaati dan dilaksanakan.

Reaktor nuklir terdiri dari beberapa komponen utama.

Pertama, tangki/bejana reaktor, bisa berupa tabung (silinder) atau bola yang dibuat dari baja dengan ketebalan sekitar 25 cm. Fungsinya sebagai wadah komponen reaktor lainnya dan tempat berlangsungnya reaksi nuklir. Tangki berdinding tebal ini juga berfungsi sebagai penahan radiasi agar tidak keluar dari sistem reaktor.

Kedua, teras reaktor yang berfungsi sebagai tempat bahan bakar. Teras reaktor dilengkapi dengan kisi penyangga untuk menempatkan bahan bakar yang berbentuk batang. Teras reaktor dibuat dari logam yang tahan panas dan tahan korosi.

Ketiga, bahan bakar nuklir, yakni komponen utama yang memegang peranan penting untuk berlangsungnya reaksi nuklir. Bahan bakar dibuat dari isotop alam seperti uranium dan thorium yang dapat membelah apabila bereaksi dengan neutron.

Keempat, bahan pendingin, berfungsi mencegah agar tidak terjadi akumulasi panas yang berlebihan pada teras reaktor. Bahan pendingin ini bisa berupa air atau gas.

Kelima, elemen kendali. Reaksi nuklir bisa tidak terkendali apabila sebagian partikel neutron yang dihasilkan dari reaksi sebelumnya tidak ditangkap atau diserap. Untuk mengendalikan reaksi, reaktor dilengkapi dengan elemen kendali yang dibuat dari bahan yang dapat menangkap atau menyerap neutron. Elemen kendali juga berfungsi untuk menghentikan operasi reaktor sewaktu-waktu bila terjadi kecelakaan.

Keenam, moderator, fungsinya untuk memperlambat laju neutron cepat (moderasi) yang dihasilkan dari reaksi fisi, hingga mencapai kecepatan neutron thermal untuk memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi nuklir selanjutnya (reaksi berantai). Bahan yang digunakan untuk moderator adalah air atau grafit.


Pertahanan Berlapis

Prinsip keselamatan yang diterapkan pada reaktor nuklir disebut sistem pertahanan berlapis, yaitu mencegah terjadinya kecelakaan (preventif), mengendalikan dan melindungi reaktor dari akibat kecelakaan (proteksi) dan memperkecil dampak yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan (mitigasi).

Tindakan preventif di antaranya mensyaratkan bahwa semua komponen reaktor nuklir harus memenuhi standar kualitas yang tinggi dan andal, sehingga kemungkinan kegagalan komponen sangat kecil.

Sistem proteksi dan mitigasi didesain dengan memanfaatkan sifat-sifat alam yang menjamin adanya keselamatan inheren, sehingga reaktor nuklir memiliki sistem yang dapat mentolerir kekeliruan operator. Di samping itu, sistem dirancang menggunakan prinsip-prinsip, redundansi (lebih dari satu komponen dari yang diperlukan), pemisahan (sistem keselamatan yang sejenis dipisahkan sehingga apabila terjadi gangguan pada satu lokasi tidak akan mempengaruhi unjuk kerja sistem yang lain), diversity (selalu terdapat lebih dari satu cara untuk melakukan suatu pekerjaan/fungsi), saling tak gayut (sistem keselamatan yang tidak saling tergantung satu sama lainnya, dan kegagalan yang aman (apabila terjadi kegagalan pada satu komponen secara otomatis akan cenderung pada kondisi yang aman).

Implementasi prinsip pertahanan berlapis yang bertujuan untuk mencegah keluarnya produk radioaktif ke lingkungan, ditunjukkan secara fisik dengan penghalang ganda.

Pertama, matriks bahan bakar (fuel pellet). Biasanya berupa oksida yang dipadatkan, sehingga tidak mudah pecah dan tersebar. Bentuk padat ini, radioaktif hasil belah dapat terkungkung dengan baik didalam matriks bahan bakar.

Kedua, kelongsong bahan bakar (cladding), yang terbuat dari logam, sebagai pembungkus bahan bakar, sehingga apabila unsur hasil belahan lepas dari bahan bakar, maka kelongsong berfungsi menahan hasil belah tetap berada dalam kelongsong.

Ketiga, sistem pendingin primer, yang terdiri dari sistem pipa, katup, pompa, dan bejana reaktor serta pembangkit uap, berfungsi sebagai penghambat hasil belah seandainya kelongsong tidak dapat menghambat bocornya hasil belah.

Keempat, bangunan pengungkung (containment building) sebagai bangunan lapisan terakhir yang melindungi semua komponen reaktor. Bangunan ini terbuat dari beton dengan ketebalan satu meter. Bangunan pengungkung ini di samping sebagai pelindung tidak keluarnya radioaktif ke lingkungan luar akibat kebocoran atau kecelakaan reaktor, juga didesain untuk dapat menahan gangguan dari luar seperti badai, banjir, dan jatuhnya pesawat terbang.

Berdasarkan pertahanan berlapis dari reaktor nuklir PLTN, pengalaman pengoperasian reaktor nuklir selama ini dan didukung perkembangan iptek nuklir, secara ilmiah diperhitungkan tidak akan terjadi kebocoran dan kecelakaan fatal atas reaktor nuklir yang membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan. Buktinya, selama 54 tahun sejak PLTN pertama di Obninks, Rusia beroperasi tidak pernah terjadi kecelakaan fatal kecuali peristiwa Cherno-byl 22 tahun lalu, yang memakan korban 56 orang meninggal dalam kurun waktu tertentu, karena struktur dan desainnya tidak memenuhi syarat (antara lain tidak memiliki pertahanan berlapis) sebagaimana di-syaratkan oleh IAEA di samping human error.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk khawatir atas kehadiran PLTN karena keraguan atas struktur, desain, dan teknologinya. Pengalaman selama 54 tahun pengoperasian PLTN di seluruh dunia membuktikan bahwa pemanfaatan iptek nuklir untuk PLTN sangat menjamin keselamatan manusia dan lingkungan.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia, mantan anggota DPR-MPR

Reaktor Nuklir di Indonesia

Pengembangan dan pengaplikasian teknologi nuklir di Indonesia diawali dengan pembentukan Panitia Negara untuk penyelidikan Radioaktivitet pada 1954. Panitia Negara bertugas menyelidiki kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di Lautan Pasifik yang dilakukan oleh ne- gara-negara maju.

Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat maka melalui Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 1958 pada 5 Desember 1958 dibentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), berdasarkan UU No 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Di sisi lain, pada 1957, Indonesia menjadi Anggota IAEA (International Atomic Energy Agency).

Dengan perubahan paradigma, pada 1997 ditetapkan UU No 10 tentang Ketenaganukliran di mana antara lain diatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), di samping ditetapkan perlunya dibentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir. Di sisi lain, dengan UU tersebut nama Batan disesuaikan menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional. Tanggal 5 Desember ditetapkan sebagai hari jadi Batan, yang merupakan tanggal bersejarah bagi perkembangan teknologi nuklir di Indonesia.

Bertolak dari ketentuan awal itu, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, pada 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama dengan nama Triga Mark II di Bandung, Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta, pada 1966, Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta 1967, dan terakhir Reaktor Atom Siwabessy di Serpong 1987.

Reaktor Triga Mark II memiliki daya 250 kW pada 1965, ditingkatkan menjadi 1.000 kW pada 1971, dan terakhir menjadi 2.000 kW pada 2000. Reaktor tersebut merupakan salah satu fasilitas dari kawasan nuklir Bandung yang menempati lahan sekitar 3 ha. Di kawasan ini terdapat Pusat Teknologi Bahan dan Radiometri. Kegiatan di sana meliputi pendayagunaan reaktor untuk penelitian dan pembinaan keahlian, litbang bahan dasar, radioisotop dan senyawa bertanda, instrumentasi dan teknik analisis radiometri, pengawasan keselamatan kerja terhadap radiasi dan lingkungan, serta pelayanan kedokteran nuklir.

Fasilitas lain yang terdapat di kawasan itu adalah laboratorium fisika, kimia, dan biologi, produksi isotop dan senyawa bertanda, dan klinik kedokteran nuklir pertama di Indonesia sebagai embrio berdirinya Unit Kedokteran Nuklir di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.


Kawasan Nuklir

Reaktor Kartini memiliki daya 100 kW dan terletak di kawasan nuklir Yogyakarta dengan luas lahan sekitar 8,5 ha. Di samping Reaktor Kartini, kawasan ini juga memiliki fasilitas perangkat subkritik, laboratorium penelitian bahan murni, akselerator, laboratorium penelitian D2O, laboratorium fisika dan kimia nuklir, fasilitas keselamatan kerja dan kesehatan, perpustakaan, fasilitas laboratorium untuk pendidikan, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, serta Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN).

Kawasan Nuklir Pasar Jumat Jakarta dibangun pada 1966 di atas lahan sekitar 20 ha. Di kawasan ini terdapat beberapa fasilitas, yaitu tiga unit Iradiator Gamma (y) kobalt-60, 2 mesin berkas elektron, laboratorium pengolahan uranium, perangkat alat ukur radiasi, laboratorium kimia, biologi, proses dan hidrologi, fasilitas pendidikan dan latihan, serta Gedung Peragaan Sains dan Teknologi Nuklir (Perasten).

Di kawasan ini terdapat beberapa unit organisasi Batan, seperti: Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Pusat Pengembangan Geologi Nuklir, Pusat Pendidikan dan Pelatihan serta Pusat Diseminasi Iptek Nuklir. Berbagai kegiatan penelitian dilakukan di kawasan ini, yang meliputi litbang radioisotop dan radiasi serta aplikasinya di berbagai bidang, litbang eksplorasi dan pengolahan bahan nuklir, geologi dan geofisika, litbang keselamatan radiasi dan biomedika nuklir, pendidikan dan pelatihan serta kegiatan sosialisasi dan diseminasi hasil Litbangyasa Iptek Nuklir kepada masyarakat yang dilakukan Batan.

Reaktor Siwabessy dengan daya 30 MW terletak di kawasan nuklir Serpong, Provinsi Banten, dengan luas lahan sekitar 25 ha. Kawasan Nuklir Serpong adalah pusat Litbangyasa Iptek Nuklir yang dibangun dengan tujuan untuk mendukung usaha pengembangan industri nuklir dan persiapan pembangunan serta pengoperasian PLTN di Indonesia. Pembangunan instalasi dan laboratorium Kawasan Nuklir Serpong dilaksanakan melalui tiga fase yang dimulai sejak 1983 dan selesai secara keseluruhan 1992. Kawasan Nuklir Serpong terletak di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek).

Selain fasilitas utama Reaktor Siwabessy, di kawasan nuklir Serpong terdapat beberapa fasilitas utama lainnya, seperti Instalasi Produksi Elemen Bakar Reaktor Riset, Instalasi Radioisotop dan Radiofarmaka, Instalasi Elemen Bakar Eksperimental, Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif, Instalasi Radiometalurgi, Instalasi Keselamatan dan Keteknikan Reaktor, Fasilitas Pengembangan Informatika, Instalasi Mekano Elektronik Nuklir, Instalasi Spektometri Neutron, serta Instalasi Penyimpanan Elemen Bakar Bekas dan bahan Terkontaminasi


Catatan Penting

Sejak berfungsinya empat kawasan nuklir dengan berbagai fasilitas termasuk tiga reaktor nuklir melalui berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan iptek nuklir termasuk pembangunan SDM yang menguasai iptek nuklir, maka beberapa catatan penting dan mendasar perlu dikemukakan.

Pertama, kepemimpinan Batan dari masa ke-masa secara signifikan mampu membangun berbagai fasilitas teknologi nuklir termasuk reaktor nuklir yang menghasilkan berbagai kegiatan untuk penelitian, pengembangan dan pemanfaatan teknologi nuklir

Kedua, pemanfaatan teknologi nuklir dari reaktor nuklir dan fasilitas perangkat nuklir lainnya telah dirasakan masyarakat secara luas, meliputi bidang pertanian, peternakan, industri, kesehatan dan kedokteran, hidrologi, rekayasa dan konstruksi, dan lainnya.

Ketiga, para operator reaktor nuklir telah menunjukkan prestasi gemilang dalam mengoperasikan reaktor nuklir karena sejak reaktor nuklir pertama, Triga Mark II, berfungsi disusul Reaktor Kartini dan Reaktor Siwabessy tidak pernah terjadi kejadian (evident) atau kecelakaan (accident) sesuai standar INES (International Nuclear Evident Scale) yang mengancam keselamatan manusia dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa para operator reaktor nuklir Indonesia memiliki budaya disiplin kerja yang tinggi.

Keempat, melihat kualitas SDM Indonesia yang menguasai iptek nuklir cukup menonjol, pada 1962 seorang tenaga BATAN, Ir Soebekti, direkrut menjadi staf IAEA dan setelah itu para ahli nuklir Indonesia secara bergantian tanpa putus direkrut dan bekerja di-IAEA sampai sekarang.

Kelima, manajemen reaktor nuklir mulai dari pengoperasian, pengawasan, sampai pemeliharaan telah membuktikan diri sebagai orang-orang yang ahli, andal, berpengalaman, berdedikasi total dan berprestasi. Buktinya, Reaktor pertama Triga Mark II yang telah berumur 43 tahun masih beroperasi dengan baik.

Keenam, manajemen pengolahan limbah telah ditangani dengan baik karena sampai saat ini belum pernah terjadi kebocoran atau kecelakaan yang menghebohkan. Di sisi lain, manajemen terbuka untuk diawasi oleh lembaga berwenang baik di dalam negeri (Bapeten) maupun luar negeri (IAEA), sehingga meraih kepercayaan dunia internasional.

Bertolak dari hal-hal tersebut, maka dari segi pengalaman tersedianya SDM yang ahli dan terampil dengan jumlah yang memadai, budaya disiplin kerja yang prima, serta berbagai perangkat fasilitas teknologi nuklir, Indonesia telah sangat siap untuk membangun dan mengoperasikan PLTN. Yang kita butuhkan hanya dukungan dana (dalam dan luar negeri), serta desain dan konstruksi dari negara-negara maju yang berpengalaman.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia dan anggota DPR/MPR periode 1987-1999.

PLTN Terobos Timur Tengah

Secara historis dan politik, wilayah Timur Tengah meliputi wilayah Afrika-Eurasia. Secara tradisional, Timur Tengah meliputi wilayah atau negara-negara Asia Barat Selatan dan bagian Afrika Utara yang meliputi Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Israel, Jordan, Kuwait, Libanon, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Somalia, Syria, Turki, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Negara-negara Arab dikenal sebagai produsen minyak yang menguasai pasar dunia. Dengan realitas dan potensi ini, sebenarnya mereka bisa mengatur dunia dalam banyak hal. Apalagi, harga minyak dewasa ini sangat mahal, yang tidak pernah terpredikisi, telah memberikan keuntungan yang sangat luar biasa bagi negara-negara penghasil dan pengekspor minyak. Dampak dari harga minyak yang meroket ini sangat merisaukan negara-negara konsumen, khususnya dunia industri.

Negara-negara Arab berada dalam kondisi pembangunan yang berbeda-beda dengan sumber daya dan tingkat pendapatan yang berlainan pula. Juga menghadapi tantangan yang berbeda, sebagaimana tergambar pada meningkatnya permintaan energi (konsumsi per kapita 1.750 kWh per tahun dibandingkan Eropa 6.000 kWh/tahun, Indonesia 500 kWh per tahun), naiknya biaya pembangkitan energi, berkurangnya sumber energi konvensional, meningkatnya ketergantungan terhadap sumber daya fosil, kelangkaan sumber energi, dan penurunan kondisi kualitas lingkungan disebabkan peningkatan konsumsi sumber energi fosil.

Kenyataannya, ada dua sisi ekstrem yang antagonistis, yaitu di satu pihak meningkatnya konsumsi energi (3,8 persen per tahun pada 1985-2005, sedangkan untuk seluruh dunia hanya 1,6 persen per tahun), dan di lain pihak berkurangnya sumber energi konvensional, seperti minyak dan gas.

Tantangan ini makin nyata lagi dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat serta meluasnya pembangunan berbagai proyek akibat keuntungan yang diraih berlipat-ganda hasil lonjakan harga minyak yang fantastis.

Sebenarnya antisipasi opsi nuklir telah muncul pada awal 1990-an. Buktinya, pada 1994Liga Arab mengajak anggotanya untuk meningkatkan pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir. Kemudian, pada 2006, Liga Arab mengulang kembali ajakannya yang secara spesifik terarah pada penetapan proyek reaktor pada suatu wilayah. Pada Desember 2006 dalam pertemuan Dewan Kerjasama Teluk, para pejabatnya mengatakan bahwa mereka sedang melakukan eksplorasi atas kemungkinan terwujudnya program nuklir.

Langkah yang lebih maju lagi terjadi pada pertemuan tingkat tinggi Liga Arab pada Maret 2007, yang menetapkan bahwa negara-negara Arab akan memperluas pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud damai. Semua hasil pertemuan tersebut merupakan suatu dukungan politik dari negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab untuk kehadiran tenaga nuklir di wilayahnya.


PLTN di Timteng

Dengan adanya kebijakan negara-negara Timur Tengah/Arab membuka pintu bagi kehadiran tenaga nuklir untuk maksud damai, maka peluang ini dimanfaatkan oleh negara-negara produsen iptek nuklir, seperti: Amerika Serikat, Prancis, Rusia, dan Kanada. Namun, dari semua negara itu, Prancis paling agresif dan proaktif menawarkan kerjasama pembangunan PLTN.

Berdasarkan catatan sejarah, 40 tahun lalu Prancis telah menjual teknologi nuklir damai kepada Saddam Hussein. Pada 1970-'an di Bushehr, Iran, semula akan dibangun reaktor nuklir desain Jerman hasil kerja sama Jerman dengan Iran. Namun, proyek ini tidak jalan. Di tempat yang sama, saat ini sedang dibangun reaktor nuklir (PLTN) desain Rusia, yang beberapa tahun terakhir ini menimbulkan kontroversi global.

Intinya ada kecurigaan sementara pihak bahwa di dalam fasilitas PLTN itu Iran sedang mengayakan uranium menjadi bahan baku untuk pembuatan senjata nuklir. Kecurigaan itu dibantah oleh Iran bahwa pembangunan PLTN adalah untuk tujuan damai.

Sejak terpilih menjadi Presiden Prancis pada Mei 2007, Sarkozy telah tiga kali melawat ke Timur Tengah. Hasil lawatan itu, Prancis telah menandatangani kerja sama nuklir dengan beberapa negara di Timur Tengah, seperti Lybia, Aljazair, dan Uni Emirat Arab. Dalam kesempatan kunjungan itu, Sarkozy telah menawarkan hal yang sama kepada Mesir dan Arab Saudi.

Di sisi lain, Mesir telah merencanakan pembangunan empat reaktor nuklir. Reaktor pertama akan berfungsi pada 2010.

Pada Februari 2007, IAEA (International Atomic Energy Agency) telah berjanji kepada Dewan Negara-negara Teluk untuk menyediakan tenaga ahli untuk mempercepat rencana nuklir mereka. Namun, kehadiran PLTN di Timur Tengah bukan tanpa tantangan.

Diplomasi nuklir Presiden Sarkozy ke Timur Tengah, apalagi ke Lybia, mendapat kritikan dari berbagi pihak di Eropa dan Amerika Serikat, terkait dengan ketakutan pada penyalahgunaan pemanfaatan energi nuklir untuk pembuatan senjata nuklir.

Kita maklum bahwa Timur Tengah khususnya negara-negara Arab adalah penghasil minyak sekaligus pengekspor minyak dan anggota OPEC. Dengan kekayaan minyak dan gas, mereka telah mengantisipasi kebutuhan di masa depan dengan upaya-upaya yang matang dan terencana agar tingkat kesejahteraan rakyat dapat dipertahankan, bahkan dikembangkan sesuai perkembangan zaman.

Indonesia, yang awalnya pengekspor minyak dan mengandalkan minyak untuk sumber penerimaan negara, harus menghadapi kenyataan bahwa kita bukan lagi pengekspor minyak, tapi telah menjadi pengimpor minyak. Itu berarti minyak bukan lagi andalan utama untuk penerimaan negara. Dalam kondisi yang memprihatinkan bahkan membahayakan ini, kita masih arogan dengan sikap tidak serius untuk mencari dan segera membangun secepatnya alternatif lain untuk mengatasi kekurangan energi.

Pilihan strategis dan tepat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membangun PLTN melalui persiapan berbagai perangkat telah mendapat kritik, protes yang menjurus pada politisasi. Dalam kondisi ini, dengan berkaca pada terobosan dan keberanian yang dilakukan negara-negara di Timur Tengah, saatnya Presiden SBY mengambil langkah yang lebih maju dengan segera mengambil keputusan dimulainya pembangunan PLTN.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), anggota DPR/MPR 1987-1999.

Pionir PLTN dan Pilihan Indonesia

Uni Soviet (waktu itu) adalah negara pertama di dunia yang memiliki pembangkit lis- trik tenaga nuklir (PLTN) yang terletak di Obninsk, sekitar 100 km dari Moskwa. PLTN ini beroperasi 26 Juni 1954 berkapasitas 5 Mwe, dengan tipe reaktor Presurized Water Graphite Reactor. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, ikut menghadiri peresmian pengoperasian reaktor tersebut. Setelah beroperasi sekitar 48 tahun, PLTN itu di-shutdown pada 29 April 2002 untuk di-decommission.

Negara kedua yang memiliki PLTN adalah Inggris, dengan dua unit bernama Calder Hall Unit A dan Unit B. Keduanya berlokasi di Cumbria yang dibangun 1 Agustus 1953. Unit A beroperasi 27 Agustus 1956 dan Unit B 1 Februari 1957. Masing-masing berkapasitas 50 Mwe dengan tipe reaktor GCR (Gas Cooled Reactor). Operatornya BNFL (British Nuclear Fuels plc) dan pemasok reaktor UKAEA (United Kingdom Atomic Energy Authority). Keduanya telah di-shutdown.

Negara ketiga adalah Amerika Serikat. PLTN komersial pertama skala besar di AS dioperasikan di Shippingport, Pennsylvania, 2 Desember 1957, yang beroperasi sampai 1982 dengan kapasitas 60 Mwe. Negara keempat, Prancis, dengan nama G-2 (Marcoule) berkapasitas 38 MWe dan tipe reaktornya GCR, sama dengan reaktor pertama di Inggris. Operatornya COGEMA (Compagnie Generale des Matieres Nucleaires), sedangkan pemasok reaktornya SACM. PLTN ini telah di-shutdown.

Di Asia, perintis PLTN adalah Jepang, dengan nama JPDR, yang terletak di Ibaraki, berkapasitas 13 MWe dengan tipe reaktor BWR. Operatornya JAERI (Japan Atomic Energy Research Institute) dan pemasok reaktornya GE (General Electric). Teknologi reaktor PLTN pertama di Jepang diambil dari AS. PLTN ini telah di-decommission.


Peta PLTN Dunia

Dari data PRIS (Power Reactor Information System) 18 April 2008, tercatat PLTN tersebar di 30 negara, dengan rincian sedang beroperasi 439 unit, sedang dibangun 35 unit, dan long term shutdown 5 unit. Dari 439 unit yang beroperasi, terbanyak di AS, yaitu 104 unit menyusul Prancis 59, Jepang 55, Rusia 31, Korea Selatan 20, Inggris 19, Kanada 18, Jerman dan India masing-masing 17, Ukraina 15, Tiongkok 11, Swedia 10, di samping negara-negara lain yang memiliki jumlah yang lebih sedikit di bawah 10 unit.

Dari 439 unit yang sedang beroperasi, tipe reaktor yang paling dominan adalah PWR 265 unit, menyusul BWR 94, PHWR 44, sedangkan tipe lain di bawah 20 unit. Tipe reaktor di AS berimbang antara tipe PWR 69 unit dan BWR 35. Di Prancis 100 persen (59 unit) menggunakan tipe PWR. Jepang menggunakan 2 tipe, PWR 23 unit dan BWR 32. Rusia menggunakan tipe PWR dan LWGR masing-masing 15 unit secara berimbang dan ada satu unit dengan tipe FBR. Inggris memiliki 18 unit tipe GCR dan satu unit tipe PWR. Kanada 100 persen (18 unit) tipe PHWR. Jerman tipe PWR 11 unit dan BWR 6. Korea Selatan PWR 16 unit dan PHWR 4. Tiongkok tipe PWR 9 unit dan PHWR 2.

Tipe PWR dan BWR yang paling banyak digunakan. Teknologinya semula berasal dari AS, namun Prancis mengembangkan sendiri teknologinya khususnya reaktor tipe PWR oleh FRAMATOME.

Jepang juga mengembangkan teknologinya, khususnya tipe PWR dan BWR. Tipe PWR oleh MHI (Mitsubishi Heavy Industry), tipe BWR oleh Toshiba dan Hitachi. Namun, ada juga kerja sama dengan induk asal mula teknologi tersebut. Untuk tipe PWR oleh MHI bersama WH (Westinghouse) dan tipe BWR oleh Hitachi bersama GE (General Electric) atau Toshiba bersama GE.

Dari 35 unit PLTN yang sedang dibangun, di Rusia 7 unit, Tiongkok dan India masing-masing 6, Korea Selatan 3, Ukraina dan Bulgaria masing-masing 2 dan beberapa negara di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Asia termasuk Iran masing-masing satu unit. Dari 35 unit yang sedang dibangun, tipe PWR sebanyak 26 unit, PHWR 4, , BWR dan FBR masing-masing 2 dan LWGR 1.
Pilihan Indonesia

Pada awalnya Pemerintah Indonesia secara bulat telah memutuskan bahwa PLTN pertama akan beroperasi di Indonesia pada 2016. Namun, dalam perkembangannya terasa ada kendala tersembunyi. Namun, apa pun penilaian kita harus diakui bahwa titik terang dan sikap kompak pemerintah yang didukung oleh DPR dalam rencana membangun PLTN terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sangat disayangkan adanya sikap yang tidak konsisten dari sementara pihak serta kepentingan politik terlalu dominan apalagi posisi politik Presiden bukan dari kekuatan mayoritas, maka rencana pembangunan PLTN tersebut berada di persimpangan jalan. Tetapi, bertolak dari pemikiran bahwa PLTN menjadi andalan dan prioritas utama untuk mengatasi krisis energi maka upaya untuk melanjutkan persiapan-persiapan mulai dari penentuan lokasi (ada 3 pilihan alternatif), pendanaan dan sistemnya, pilihan teknologi (tipe reaktor), konstruksi, sosialisasi, dan lain-lain harus berlanjut dan tidak boleh berhenti.

Tanpa mengurangi aspek-aspek lainnya, maka yang utama dari persiapan pembangunan PLTN adalah pilihan sistem pendanaan yang juga terkait dengan teknologinya. Pendanaan bisa melalui pola pendanaan konvensional (single-package full turnkey contract) atau pola pendanaan alternatif seperti BOT (build-operate-transfer), BOO (build-own-operate) atau pola imbal beli (counter trade). Di samping itu, upaya sosialisasi PLTN yang intensif dan ofensif secara andal, berkualitas, transparan dan jujur kepada masyarakat harus dilakukan secara kontinu melalui berbagai cara dan media. Dukungan masyarakat atas kehadiran PLTN adalah mutlak. Dukungan masyarakat akan diraih apabila seluk-beluk PLTN dipahami secara baik dan benar melalui informasi yang akurat dan benar serta manfaat yang diperoleh dengan kehadiran PLTN.

Dewasa ini negara yang paling agresif menawarkan diri kepada negara lain untuk berpartisipasi membangun PLTN adalah Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Jepang, karena di samping memiliki dana teknologi mereka telah maju, mandiri, berpengalaman dan juga terbukti andal.
Namun, apa pun pilihannya baik segi pola pendanaan maupun teknologinya dan dari negara manapun yang menjadi pilihan untuk membangun PLTN, sudah tentu pilihan Indonesia tetap berorientasi pada kepentingan nasional. Artinya, pola pendanaan apa pun yang akan diambil secara ekonomi harus tetap menguntungkan bangsa dan karena itu harus melalui perhitungan yang matang serta akurat. Demikian juga teknologinya harus memiliki jaminan keselamatan manusia dan lingkungan. Teknologinya telah terbukti andal, efisien, murah dan dapat beroperasi sesuai standar (60 tahun) ditambah persyaratan standar lainnya di samping persyaratan subjektif dari pemerintah Indonesia.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia, mantan anggota DPR/MPR.

McCain, Angela Merkel, dan Isu PLTN

Pada pertengahan Juni 2008 di dua tempat, Houston dan Universitas Negara Bagian Missouri, Amerika Serikat, John McCain Senator Arizona, menyatakan, ia berniat untuk membuat kebijakan meningkatkan kapasitas nuklir domestik secara signifikan dengan membangun 45 reaktor nuklir di AS sampai dengan 2030.

Pernyataan McCain itu merupakan bagian dari kampanyenya sebagai kandidat presiden dari Partai Republik pada pemilu Presiden AS, November nanti. Sebagaimana diketahui, AS memiliki 104 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sedang beroperasi dan menyuplai kebutuhan listrik sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional. Namun, sejak dekade 1970-an tidak ada lagi pembangunan PLTN di AS.

Menurut penulis, tiga alasan utama mengapa McCain menyampaikan pernyataan demikian.

Pertama, rasa kebangsaannya yang tinggi dengan menyatakan bahwa belahan Eropa dan negara-negara dunia ketiga dapat menempuh langkah menuju tujuan besar dalam kebijakan energinya dengan terus merencanakan dan membangun PLTN, tapi mengapa kita tidak? Bahkan ditegaskannya bahwa AS lebih dari sekadar setara untuk melakukan hal yang sama. McCain menyadari bahwa AS adalah pelopor pembangunan PLTN. Bagi AS dalam pembangunan PLTN tidak ada masalah karena dana melimpah dan tenaga ahli menguasai teknologi nuklir dan mampu mengembangkannya secara efektif, efisien, dan aman. Oleh karena itu, dia prihatin mengapa AS mau ketinggalan dari negara-negara lain.

Kedua, menyangkut pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak yang gila-gilaan saat ini, mencapai US$ 150 per barel, telah merusak tatanan ekonomi dunia khususnya negara-negara pengimpor minyak. Dengan membangun PLTN stabilitas harga listrik dapat terjaga dalam jangka panjang dan itu berarti dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Terkait situasi ini Mc. Cain menegaskan bahwa tujuan kebijakannya memilih energi nuklir adalah di samping untuk mengurangi emisi karbon (aspek lingkungan) juga untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, menyangkut lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui umum bahwa energi konvensional (McCain menyebutnya energi tradisional) melepaskan emisi karbon dan zat-zat lain yang me- rusak lingkungan, yang berdampak pada pemanasan global. Dalam kaitan ini McCain menegaskan bahwa energi nuklir merupakan salah satu tujuan kebijakannya karena mengurangi emisi karbon. Energi nuklir adalah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan suplai energi yang aman, bersih, berlimpah, dan stabil.


Kesalahan

Pada saat yang hampir bersamaan, pertengahan Juni 2008, dari benua Eropa terdengar suara yang sama. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidatonya di konferensi ekonomi Partai Kristen Demokrat mengatakan, kebijaksanaan pemerintah untuk menutup PLTN merupakan kesalahan dan harus direvisi. Menutup PLTN merupakan kesalahan karena itu sumber energi paling aman di dunia.

Pernyataan Angela Merkel itu sebagai reaksi dan koreksi atas kebijakan pemerintah koalisi se- belumnya dari Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau yang dipimpin oleh Gerhard Schroeder, yang mengambil keputusan untuk menutup seluruh PLTN di Jerman pada 2021, walaupun pemerintahan Jerman sekarang (pemerintahan koalisi antara Partai Demokrat Kristen dan Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Kanselir Angela Merkel) pada 2005 telah menyetujui untuk meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Namun, dalam perkembangannya, masing-masing partai terus mencari kebijakan sendiri soal energi. Hal ini terlihat dalam pernyataan lain dari Angela Merkel, yang menyatakan bahwa Jerman harus membuat kebijakan energi yang bagus. Apa yang kita lakukan saat ini mengurung usaha keberagaman produksi energi, dibanding mengambil sebuah langkah untuk mengembangkannya. "Saya merasa ini arah yang salah. Bukan sikap terbaik bagi Jerman, sebagai kekuatan ekonomi terbesar, Eropa jika kita harus membeli energi nuklir dari Prancis dan Finlandia hanya karena kita menutup PLTN kita sendiri," kata Angela Merkel mengakhiri pernyataannya. Pernyataan Kanselir ini tentu tidak terlepas dari persiapan Pemilu Jerman pada September tahun depan.

Dari pernyataan kedua tokoh itu, yang berasal dari dua benua yang menguasai dunia dalam banyak hal, jelas terlihat bahwa PLTN telah menjadi isu kampanye dari Mc Cain sebagai kandidat presiden AS mewakili Partai Republik, November nanti dan Angela Merkel yang kemungkinan juga akan menjadi kandidat Kanselir mewakili Partai Kristen Demokrat dalam pemilu Jerman, September tahun depan.

Kedua tokoh ini sadar bahwa isu PLTN bukan tanpa risiko, termasuk risiko kalah. Karena itu, untuk kedua tokoh ini perlu diacungi jempol karena walaupun isu PLTN sangat sensitif, namun mereka begitu berani memanfaatkan PLTN sebagai isu kampanye.
Harus diakui bahwa opsi yang paling andal, rasional, dan realistis untuk mengatasi krisis energi dunia saat ini dan ke depan adalah dengan membangun PLTN, karena dari segi ekonomi efisien dan kompetitif. Teknologi yang dipakai sangat maju dengan tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi, serta ramah lingkungan.

Untuk menghindari risiko kalah, pasti kedua tokoh itu telah mempersiapkan kiat-kait khusus dan unggul serta melakukan kajian yang cerdas dan matang untuk menjadikan isu PLTN sebagai bagian materi dari kampanyenya. Penulis yakin kedua tokoh ini akan mendapat dukungan luas asal isu PLTN diracik secara cerdas, meyakinkan, dan akurat, mengingat masyarakat di kedua negara itu sangat terdidik dan rasional, ditambah dunia industri/usaha sangat terpukul dengan kenaikan harga minyak yang di luar per- hitungan akal sehat. PLTN bisa menjadi penyelamat bagi mereka.

Yang patut diperhitungkan adalah beberapa pentolan lingkungan hidup sebagai bagian dari pendiri Green Peace, seperti Dr Patrick Moore, Prof Dr James Lovelock, dan Bruno Comby, yang semula sangat gencar berkampanye menolak PLTN, akhirnya berbalik 180 derajat mendukung pembangunan PLTN. Perubahan sikap mereka itu bukan karena "dagang sapi", tapi karena pertimbangan rasional, jujur, dan realistis melihat kenyataan di lapangan.


Pilpres 2009

Berkaca dari kedua tokoh tersebut, bagaimana dengan calon presiden atau capres
Indonesia dalam Pilpres tahun depan? Adakah capres yang berani menggunakan PLTN sebagai isu kampanye untuk meraih dukungan rakyat? Harus diakui bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan intelektual dan elite politik masih pro dan kontra terhadap kehadiran PLTN. Pro dan kontra itu biasa dalam dunia demokrasi. Namun, sangat disesalkan apabila ada segelintir intelektual dan elite politik yang hati nuraninya sebenarnya mendukung PLTN karena pertimbangan rasional, objektif dan realistis., tetapi kemudian menolak hanya karena kepentingan sesaat dan kelompok yang sempit muaranya merugikan kepentingan rakyat.

Lebih memprihatinkan apabila ada di antara kelompok ini menjadi juru bicara pihak asing untuk menolak kehadiran PLTN di Indonesia karena kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan terselubung lainnya dari pihak asing, yang muaranya merugikan kepentingan nasional. Bukan tidak mungkin mafia minyak, yang sedang ramai diberitakan pers saat ini dan akan diusut oleh DPR melalui hak angket, termasuk dalam kelompok ini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara meyakinkan telah merintis kehadiran PLTN di Indonesia melalui Penetapan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, diikuti Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Ke-bijaksanaan Energi Nasional.

Penulis adalah anggota HIMNI (Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia) dan mantan Anggota DPR (1987-1999).

PLTN di Persimpangan Jalan

Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia masih mengundang kontroversi dan debat kusir berkepanjangan, yang hasilnya tidak mendidik, bahkan membingungkan dan menyengsarakan rakyat. Menjadi kontroversi karena pihak pro dan kontra terus mempertahankan pendapatnya tanpa adanya mediator yang mampu untuk mendekatkannya, apalagi mencapai kesepakatan yang memihak ke- pentingan rakyat.

Menjadi debat kusir karena ada sementara pihak yang tidak memiliki informasi yang memadai soal PLTN, namun begitu percaya diri dan arogan, sehingga terjadi disinformasi tentang PLTN yang muaranya membodohi dan menyesatkan rakyat. Bahkan ada dari kelompok ini yang apriori menolak PLTN tanpa alasan yang argumentatif dan rasional. "Pokoke PLTN no," kata mereka.

Juga sangat memprihatinkan adanya elite politik yang bermuka dua. Dalam Komisi di mana dia menjadi anggotanya setuju dan mendukung pembangunan PLTN, tetapi di forum lain menolak PLTN. Di tengah kontroversi dan debat kusir ini, sebenarnya tugas pemerintah dalam suatu koordinasi yang kuat dan rapi untuk menyosialisasikan secara intensif, transparan, jujur, dan benar melalui informasi akurat, objektif, dan ilmiah di- tambah informasi dari pengalaman negara-negara lain yang telah mengaplikasikan energi nuklir.

Dalam kenyataan, upaya standar yang dikemukakan di atas tidak pernah terjadi, yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang langkah-langkah persiapannya membangun PLTN mulai konkret. Akibatnya, rencana pembangunan PLTN di sekitar Semenanjung Muria, Jawa Tengah terkatung-katung, apalagi terjadinya demonstrasi sekelompok masyarakat di sekitar lokasi tersebut menolak kehadiran PLTN di wilayahnya.


Pro dan Kontra

Berdasarkan hasil kajian Panitia Teknis Energi, maka Bakoren (Badan Koordinasi Energi Nasional) dalam rapatnya pada 1981 memutuskan setuju membangun PLTN di Indonesia. Namun, beberapa hari kemudian Bakoren mengadakan rapat kembali untuk membatalkan keputusan persetujuan tersebut setelah mendengar penjelasan se- orang anggota Kabinet.

Pada era Orde Baru rencana pembangunan PLTN muncul kembali di tataran eksekutif ataupun legislatif. Timbul wacana pro dan kontra di tengah masyarakat yang makin hari makin tajam. Anggota Kabinet ikut nimbrung dalam pro dan kontra. Di tengah situasi yang tidak kondusif bagi rencana pembangunan PLTN, pemerintah bersama DPR berhasil menetapkan UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai salah satu payung hukum pembangunan PLTN.

Saat pengalihan kekuasaan dari Orde Baru ke era Reformasi, rencana pembangunan PLTN menjadi redup. Namun, setelah dunia mulai menghadapi krisis energi yang serius pada awal 2000-an dan bergejolaknya harga minyak yang tidak dapat diprediksi secara akurat, menyadarkan banyak negara untuk mengambil opsi ke pembangunan PLTN sebagai prioritas mengatasi krisis energi, termasuk Indonesia. Pemerintahan SBY secara konkret mengambil langkah-langkah persiapan pembangunan PLTN. Mulai dari menetapkan blue print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, di mana ditetapkan roadmap Industri Energi Nuklir yang intinya tender PLTN unit 1 dan 2 tahun 2008, pembangunan PLTN 1 dimulai 2010 dan beroperasi 2016. Tahun 2025 direncanakan empat PLTN beroperasi.

Kemudian dikeluarkan Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Pasal 2 ayat 2b butir 6 di- tegaskan, pada 2025 peranan dari energi baru dan terbarukan lainnya (energi nuklir masuk di dalamnya) menjadi lebih dari 5 persen. Di sisi lain situasi nasional cukup kondusif dan positif mengenai rencana pembangunan PLTN. Hal itu ditandai dengan dukungan DPR secara utuh melalui kesimpulan rapat Komisi VIII dan pemerintah.

Tokoh-tokoh masyarakat yang pada Orde Baru sangat menentang kehadiran PLTN di-Indonesia berubah sikap menjadi bersahabat dengan PLTN. Dalam Kabinet Presiden SBY terkesan kuat semua anggota Kabinet, khususnya mereka yang terkait dengan pembangunan PLTN (Menteri ESDM, Ristek, Lingkungan Hidup dan PLN), secara kompak mendukung sepenuhnya. Kesan itu dapat kita baca pada berbagai statemen mereka di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, Presiden SBY sendiri dalam kunjungan ke luar negeri mengambil kesempatan untuk melihat dari dekat pengoperasian PLTN, seperti, di Korea Selatan beberapa waktu lalu.

Melihat adanya titik terang itu maka berbagai delegasi dari luar negeri berkunjung ke Indonesia. Presiden dan Menlu Korea Selatan, berkunjung ke Indonesia untuk menjajaki kerja sama nuklir yang tentunya berharap mereka bisa membangun PLTN di Indonesia. Korea Selatan begitu intensif dan agresif dalam menjajaki kerja sama dengan Indonesia.


Berubah Pikiran

Memasuki 2008, yang seharusnya sesuai jadwal proses tender pembangunan PLTN dimulai, ternyata suam-suam saja, tidak ada kabar berita sedikit pun. Tidak ada lagi pejabat pemerintah yang berbicara soal PLTN. Apa ada larangan, takut atau berubah pikiran? Suasana ini sangat mengusik sehingga timbul pertanyaan, ada apa di balik sikap diam itu?

Setelah lama merenung dalam suasana prihatin disertai perasaan percaya atau tidak, penulis mencoba menerka dengan mengemukakan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah sikap itu karena adanya penolakan PLTN oleh sekelompok masyarakat di Jawa Tengah, sehingga pemerintah ragu atau takut? Kedua, apakah sikap itu terkait dengan persiapan Pilpres 2009 untuk meraih dukungan suara? Ketiga, apakah sikap diam itu karena adanya kompromi di antara elite kekuasaan karena pesanan pihak luar? Keempat, pertanyaan lain yang bisa muncul dari mereka yang peduli dengan PLTN.

Apabila butir pertama di atas sebagai alasan pemerintah mengurungkan niat membangun PLTN maka sikap itu memprihatinkan, karena dalam sejarah pembangunan PLTN di negara- negara lain, tidak pernah pemerintah kalah atas kelompok anti-PLTN. Pemerintah selalu berhasil meraih dukungan masyarakat melalui sosialisasi.

Bila karena khawatir berdampak negatif pada pencalonan SBY di pilpres mendatang, penulis berpendapat sebaliknya. Isu pembangunan PLTN akan mendongkrak suara SBY, asal disertai sosialisasi yang cerdas dan akurat, dengan menggalang semua potensi yang memiliki kewibawaan intelektual, sosial budaya dan politik. Sasarannya untuk meyakinkan masyarakat bahwa krisis energi saat ini dan mendatang hanya dapat di- atasi dengan membangun sebanyak mungkin PLTN. Banyak kiat jitu untuk melaksanakannya, sehingga rakyat menerima dan mendukung kehadiran PLTN.

Sikap diam oleh pemerintah soal PLTN sangat mungkin karena butir ketiga di atas. Seperti diketahui, ada rencana pembangunan PLTU berkapasitas 10.000 mw (tahap I) dengan bahan bakar batu bara bekerja sama dengan pihak asing. Kemungkinan diperhitungkan, kehadiran PLTN akan menjadi pesaing berat bagi PLTU, sehingga kehadiran PLTN perlu dibatalkan/ditunda. Bila ada pemikiran demikian, tentu itu tidak beralasan karena kehadiran PLTN di Indonesia bukan menjadi pesaing siapa-siapa, tetapi menjadi pendamping sumber daya energi berbasis hidro karbon, seperti batu bara.

Kemungkinan yang lain, persaingan negara-negara maju untuk memenangkan proyek pembangunan PLTN di Indonesia. Terkesan kuat Korea Selatan berpeluang besar memenangkan tender proyek itu karena pendekatan mereka begitu intensif dan simpatik. Hasil dari pendekatan itu menghasilkan beberapa nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Korsel di bidang nuklir. Apalagi Presiden SBY sudah mengunjungi Korsel dan melihat dari dekat pengoperasian PLTN di sana. Hal ini mungkin menimbulkan kecemburuan pesaing, sehingga dengan segala kemampuan berupaya menunda pembangunan PLTN.

Dugaan tersebut bisa keliru karena pemerintah lebih tahu duduk persoalannya. Bertolak dari uraian di atas, maka timbul pertanyaan: "PLTN, yes or no, atau di antara yes dan no, yang berarti di persimpangan jalan." Kita tunggu perkembangannya.

Penulis adalah anggota HIMNI (Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia)

Mengenang 22 Tahun Tragedi Chernobyl

Tanggal 26 April 1986, 22 tahun lalu, pukul 01.23 terjadi ledakan pada Unit 4 PLTN Chernobyl. Peristiwa ini menggemparkan dunia karena mengingatkan kembali pada ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, saat berkecamuk Perang Dunia II yang menewaskan sekitar 220.000 orang.

Trauma Hiroshima dan Nagasaki belum hilang dari ingatan orang, muncul kembali peristiwa Chernobyl yang termasuk kecelakaan terbesar pada PLTN selama kurang lebih 60 tahun. Berbagai media cetak dan elektronik sejagat memberitakan tragedi itu secara beragam baik yang bersifat normatif, emosional, ataupun bombastis.

Trauma yang melanda masyarakat di lokasi kejadian dan sekitarnya akibat peristiwa Chernobyl menjadikan setiap tanggal 26 April pukul 01.23 lonceng berdentang-dentang di Ukraina. Walaupun malam telah larut dan udara dingin, namun warga tetap terjaga. Mereka meletakkan bunga dan lilin di monumen korban bencana Chernobyl.

Upacara yang sama digelar di Slavutych, Rusia, kota yang didirikan untuk menampung para pekerja Reaktor Chernobyl. Upacara juga diperingati di negara tetangga Ukraina, yaitu Belarus, yang ikut menderita akibat bencana Chernobyl.
Penyebab Kecelakaan

Reaktor Chernobyl jenis RBMK didirikan di atas tanah rawa di sebelah utara Ukraina, sekitar 80 mil sebelah utara Kiev. Reaktor unit 1 mulai beroperasi pada 1977, unit 2 pada 1978, unit 3 pada 1981, dan unit 4 pada 1983. Sebuah kota kecil, Pripyat, dibangun dekat PLTN Chernobyl untuk tempat tinggal pekerja pembangkit itu dan keluarganya.

Tipe PLTN Chernobyl dirancang untuk menghasilkan "plutonium" guna pembuatan senjata nuklir serta listrik. Tipe PLTN berfungsi ganda seperti ini tidak ada di negara-negara Barat, seperti, AS dan Prancis, yang merupakan negara pioner PLTN di samping Uni Soviet (pada waktu itu) sebagai pioner pertama.

Secara garis besar, bencana Chernobyl dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada 25 April 1986 reaktor unit 4 direncanakan dipadamkan untuk perawatan rutin. Selama pemadaman berlangsung, teknisi akan melakukan tes untuk menentukan apakah pada kasus reaktor kehilangan daya turbin dapat menghasilkan energi yang cukup untuk membuat sistem pendingin tetap bekerja sampai generator kembali beroperasi.

Proses pemadaman dan tes dimulai pukul 01.00 pada 25 April. Untuk mendapatkan hasil akurat, operator memilih mematikan beberapa sistem keselamatan, yang kemudian pilihan ini yang membawa malapetaka. Pada pertengahan tes, pemadaman harus ditunda selama sembilan jam akibat peningkatan permintaan daya di Kiev. Proses pemadaman dan tes dilanjutkan kembali pada pukul 23.10 25 April. Pada pukul 01.00, 26 April, daya reaktor menurun tajam, menyebabkan reaktor berada pada situasi yang membahayakan. Operator berusaha mengompensasi rendahnya daya, tetapi reaktor menjadi tak terkendali. Jika sistem keselamatan tetap aktif, operator dapat menangani masalah, namun mereka tidak dapat melakukannya dan akhirnya reaktor meledak pada pukul 01.30.

Kecelakaan PLTN Chernobyl masuk level ke-7 (level paling atas) yang disebut major accident, sesuai dengan kriteria yang ditentukan INES (The International Nuclear Event Scale). Di samping kesalahan operator yang mengoperasikannya di luar SOP (standard operation procedure), PLTN Chernobyl juga tidak memenuhi standar desain sebagaimana yang ditentukan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency). PLTN Chernobyl tidak mempunyai kungkungan reaktor sebagai salah satu persyaratan untuk menjamin keselamatan jika terjadi kebocoran radiasi dari reaktor. Apabila PLTN Chernobyl memiliki kungkungan maka walaupun terjadi ledakan kemungkinan radiasi tidak akan keluar ke mana-mana, tetapi terlindung oleh kungkungan. Atau bila terjadi kebocoran tidak separah dibandingkan dengan tidak memiliki kungkungan.

Secara perinci, kecelakaan itu disebabkan, pertama, desain reaktor, yakni tidak stabil pada daya rendah - daya reaktor bisa naik cepat tanpa dapat dikendalikan. Tidak mempunyai kungkungan reaktor (containment). Akibatnya, setiap kebocoran radiasi dari reaktor langsung ke udara. Kedua, pelanggaran prosedur. Ketika pekerjaan tes dilakukan hanya delapan batang kendali reaktor yang dipakai, yang semestinya minimal 30, agar reaktor tetap terkontrol. Sistem pendingin darurat reaktor dimatikan. Tes dilakukan tanpa memberitahukan kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap operasi reaktor. Ketiga, budaya keselamatan. Pengusaha instalasi tidak memiliki budaya keselamatan, tidak mampu memperbaiki kelemahan desain yang sudah diketahui sebelum kecelakaan terjadi.

Penilaian atas berbagai kelemahan PLTN Chernobyl menghasilkan evaluasi internasional bahwa jenis kecelakaan seperti ini tidak akan mungkin terjadi pada jenis reaktor komersial lainnya. Evaluasi ini ditetapkan demikian karena mungkin berdasarkan analisis jenis reaktor lain yang memenuhi persyaratan keselamatan yang tinggi, termasuk budaya keselamatan yang dimiliki para operator sangat tinggi.
Dampak Kecelakaan

Pada 2003, IAEA membentuk "Forum Chernobyl" bekerja sama dengan organisasi PBB lainnya, seperti WHO, UNDP, ENEP, UN-OCHA, UN-SCEAR, Bank Dunia dan ketiga pemerintahan Belarusia, Ukraina, dan Rusia. Forum ini bekerja untuk menjawab pertanyaan, "sejauh mana dampak kecelakaan ini terhadap kesehatan, lingkungan hidup dan sosial ekonomi kawasan beserta penduduknya." Laporan ini diberi nama "Cherno- byl Legacy".

Diperkirakan semula dampak fisik akan begitu dahsyat. Artinya, akan menimbulkan korban jiwa yang luar biasa banyaknya. Namun, ternyata data sampai dengan 2006, jumlah korban yang meninggal 56 orang, di mana 28 orang (para likuidator terdiri dari staf PLTN, tenaga konstruksi, dan pemadam kebakaran) meninggal pada 3 bulan pertama setelah kecelakaan, 19 orang meninggal 8 tahun kemudian, dan 9 anak lainnya meninggal karena kanker kelenjar gondok.

Sebanyak 350.000 likuidator yang terlibat dalam proses pembersihan daerah PLTN yang kena bencana, serta 5 juta orang yang saat itu tinggal di Belarusia, Ukraina, dan Rusia, yang terkena kontaminasi zat radioaktif dan 100.000 di antaranya tinggal di daerah yang dikategorikan sebagai daerah strict control, ternyata mendapat radiasi seluruh badan sebanding dengan tingkat radiasi alam, serta tidak ditemukan dampak terhadap kesuburan atau bentuk-bentuk anomali.

Di sisi lain, hasil studi dan penelitian terhadap likuidator menunjukkan bahwa "tidak ada korelasi langsung antara kenaikan jumlah penderita kanker dan jumlah kematian per satuan waktu dengan paparan radiasi Chernobyl.

Kemudian pada 1992-2002 tercatat 4.000 kasus kanker kelenjar gondok yang terobservasi di Belarusia, Ukraina, dan Rusia pada anak-anak dan remaja 0-18 tahun ketika terjadi kecelakaan, termasuk 3.000 orang yang berusia 0-14 tahun. Selama perawatan mereka yang kena kanker, di Belarusia meninggal delapan anak dan di Rusia seorang anak. Yang lainnya selamat.

Berdasarkan laporan "Chernobyl Lecacy", sebagian besar daerah pemukiman yang semula mendapat kontaminasi zat radioaktif karena kecelakaan PLTN Chernobyl telah kembali ke tingkat radiasi latar, seperti sebelum terjadi kecelakaan. Dampak psikologis adalah yang paling dahsyat, terutama trauma bagi mereka yang mengalaminya seperti stres, depresi, dan gejala lainnya yang secara medis sulit dijelaskan.

Akibat kecelakaan itu, IAEA dan semua negara yang memiliki PLTN membangun konsensus internasional untuk selalu menggalang dan memutakhirkan standar keselamatan. Di sisi lain, pihak yang anti-PLTN telah menggunakan isu kecelakaan di Chernobyl sebagai bahan kampanye untuk menolak kehadiran PLTN, termasuk di Indonesia, dengan berbagai informasi yang keliru karena ketidaktahuan akan kebenaran informasi sebab terjadinya kecelakaan Chernobyl.

Belajar dari kecelakaan Chernobyl, IAEA telah menetapkan standar tambahan untuk memperkuat syarat keselamatan yang tinggi bagi pembangunan dan pengoperasian PLTN, antara lain, perbaikan desain sampai pada generasi ke-4, aturan main dalam bentuk basic safety, dan berbagai konvensi keselamatan.

Penulis adalah pengamat masalah PLTN dan anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI)