Tuesday, April 7, 2009

PASKAH, PAMOR DAN PASRAH

Sehari setelah Pemilu Legislatif, tepatnya tgl 10 dan 12 April 2008, ummat Kristen akan memperingati 2 peristiwa besar melalui Ibadah Gerejawi yang saling kontradiksi. Peringatan pertama penuh kesedihan dan dukacita berupa kematian Yesus di kayu salib(JUMAT AGUNG) sedangkan peringatan kedua penuh kebahagiaan dan sukacita karena kebangkitan Yesuspada hari ketiga sesudah kematian (PASKAH) Perayaan Paskah merupakan perayaan terbesar dari hari2 raya Kristiani disamping Natal.

Dari kesaksian Alkitab ada 3 penyebab kematian Yesus yaitu Pertama “pengkhianatan” yang dilakukan Yudas, murid Yesus hanya karena uang 30 perak(Matius 26 ayat 15, 48). Kedua kesaksian palsu yang direkayasa oleh para Imam2 Kepala/Mahkamah Agama demi mempertahankan kewibawaan dan popularitas (Matius 26 ayat 59 dan 60). Ketiga “cuci tangan” yang dilakukan Pilatus(Matius 27 ayat 24) demi mempertahankan kekuasaan.

Dalam perjalanan sejarah sesudah era kematian dan Kebangkitan Yesus, sikap Pengkhianatan, Kesaksian Palsu dan Cuci Tangan sering kita saksikan(bahkan mungkin terjadi dalam diri kita sendiri) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan ber-Gereja. Sikap2 yang tidak terpuji tsb yang sering kita lakukan, muncul pada saat2 genting, mendesak dan menentukan terkait dengan fasilitas(uang dan jabatan), merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, meraih popularitas atau kepentingan2 lain.

Pengkhianatan seorang Murid kepada Guru sebagaimana dilakukan Yudas terhadap Yesus sungguh memprihatinkan dan keterlaluan. Penilaian kita tentu berbeda apabila profil seorang Guru adalah penindas, tukang rampok, pemerkosa, penipu, tukang mabo, penganiaya dan sifat2 jelek lainnya. Apabila Murid mengkhianati Guru model seperti itu dapat dipahami. Mungkin khalayak ramai bisa membenarkannya. Karena pepatah mengatakan “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari.

Tetapi Yesus sebagai Guru, jauh dari sifat2 tsb diatas. Yesus adalah seorang Guru yang penuh keteladanan dalam menegakan keadilan dan kebenaran, mengasihi sesama manusia dengan perbuatan2 ajaib serta tidak memiliki harta. Karena itu tega benar si Yudas mengkhianati Gurunya. Tapi itulah kenyataan.

Lebih memprihatinkan adalah perbuatan para Imam dengan bosnya Kayafas sebagai Imam Besar. Dalam sidang Mahkamah Agama yang terdiri dari para Imam, ahli2 Taurat dan Tua2(bangsa Yahudi), mereka mencari orang2 untuk menyampaikan kesaksian palsu agar Yesus diadili dan dihukum. Bahkan pada saat Yesus diperiksa dihadapan Pilatus, para Imam dan Tua2 menghasut orang banyak agar Yesus dihukum mati. Bukan main kelakuan para Imam dan Tua2 tsb. Mereka yang sebenarnya ahli dalam bidang keagamaan dan telah melalui pendidikan serta berpengalaman dalam melayani Jemaat seharusnya bertugas untuk mengaktualisasikan ajaran agama tsb dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama pada waktu itu dengan menjunjung tinggi nilai2 kebenaran, keadilan, moralitas dan etika.

Tetapi kenyataan mereka melakukan perbuatan keji yang sangat bertentangan dengan kompetensi yang melekat pada dirinya sebagai agamawan. Hal ini terjadi karena kehadiran Yesus menggoyahkan kewibawaan dan popularitas mereka di-tengah2 rakyat. Yesus dalam pelayanannya melakukan terobosan berani dalam menegakan keadilan dan kebenaran sebagai koreksi dan protes atas perbuatan para Imam dan gangnya yang dalam melaksanakan kekuasaannya penuh kemunafikan, ketidakadilan dan manipulasi.

Disisi lain Yesus melakukan perbuatan2 ajaib yang mengemparkan rakyat yang beritanya tersebar luas di-mana2 seperti menyembuhkan orang sakit sesaat tanpa pengobatan, memberi makan ribuan orang dengan modal lima roti dan dua ikan, jalan diatas air, meredakan ombak, dll. Perbuatan2 ajaib tsb belum pernah dan tidak mampu dilakukan oleh para Imam, Ahli2 Taurat dan Tua2 tsb. Akibat terobosan dan perbuatan ajaib yang dilakukan Yesus, maka pengaruh dan pengikutNya menjadi besar. Para Imam dan gangnya merasa terancam kekuasaan mereka dengan segala perangkat kebesarannya. Demi tidak kehilangan muka dan lestarinya kewibawaan dan popularitas mereka, maka pelacuran terhadap Iman menjadi jalan pintas. Akibatnya Yesus menjadi korban.

Soal Pilatus, sebenarnya dari hati nuraninya ia membela Yesus. Sikap tsb terbukti dari ungkapannya bahwa “mereka telah menyerahkan Yesus kepadanya karena dengki” , kemudian diikuti dengan pertanyaan “tetapi kejahatan apakah yang dilakukanNya”?. Bahkan isterinyapun telah memperingatkan Pilatus “agar jangan mencampuri perkara orang benar itu(Yesus), sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”.(Mat.26 ayat 18,19,23).

Namun karena desakan orang banyak, maka Pilatus dengan membasuh tangannya didepan orang banyak, berkata bahwa “aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri”. Dari konteks kasus Pilatus ini, maka dalil yang mengatakan bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan” tidak benar. Rakyat banyak mendesak Pilatus untuk menghukum mati Yesus karena hasutan para Imam dan gangnya serta mungkin mereka telah dibayar/disogok. Sebagai manusia yang tetap ingin berkuasa dan tidak ingin jatuh dari tahta kekuasaan karena digugat oleh rakyatnya, maka Pilatus mengambil sikap “cuci tangan”, dalam arti tidak mau bertanggung jawab atas keputusannya menyerahkan Yesus untuk disalibkan.

Beberapa hari lagi ummat Kristiani di seluruh dunia akan merayakan Paskah sebagai Pesta Iman, kemenangan Kristus atas maut hasil pengkhianatan, kesaksian palsu, hasutan dan cuci tangan. Sejauh mana khotbah Paskah nanti akan mampu menyadarkan, menjiwai, mengoreksi dan merobah prilaku ummatNya untuk menjauhi dari prilaku Yudas, para Imam dan gangnya serta Pilatus. Apakah perobahan prilaku tsb cukup dengan pesan Khotbah atau perlu ada tindak lanjut selain Khotbah. Hal ini penting dan mendesak melihat realita kehidupan bermasyarkat, berbangsa, bernegara dan ber-Gereja masih banyak ditandai dengan prilaku Yudas, Para Imam dan Pilatus yang cukup. meresahkan. Paskah nanti harus ditandai dengan gerakan dan gebrakan kebangkitan untuk pertobatan dan pembaharuan diri yang konkrit, berkwalitas dan berkesinambungan sebagai arak2an menghadirkan tanda2 Kerajaan Allah dibumi pertiwi.

Adalah sangat ideal kalau dimulai dari Sulawesi Utara/Minahasa. Apabila Gereja tidak berani karena berhadapan dengan situasi struktural, kepentingan horizontal dan vertikal yang semuanya bersifat sesaat dan meng-enakkan, tidak mau berkorban karena takut resiko, berarti Paskah hanya merupakan suatu PAMOR RITUAL KEAGAMAAN yang hura2, hampa tak bernyawa. Tegasnya tidak ada gaung kebangkitan yang membangkitkan perobahan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih bermutu dalam terang Keimanan yang makin berkwalitas.

Sebelum Perayaan Paskah, akan diselenggarakan Pilges (Pemilihan Legislatif) DPR, DPRD dan DPD. Sayang Pilges mendahului Perayaan Paskah. Ideal sebenarnya Perayaan Paskah mendahului Pilges agar pesan2 Paskah bisa menjiwai, mewarnai dan memagari prilaku para pemilih dan Caleg khusus yang berlabel Kristen dalam seluruh proses pemilihan sampai dengan penentuan calon terpilih. Namun penentuan hari Pilges tentunya bukan wewenang Gereja.
Kesan banyak orang, prilaku Yudas, Para Imam dan Pilatus sangat dekat dan kental dengan dunia politik. Tegasnya dalam dunia politik bertaburan banyak Yudas, Para Imam dan Pilatus. Dalam dunia politik tidak bisa dipisahkan dengan prilaku pengkhianatan, hasutan dan cuci-tangan. Keduanya menyatu. Bahkan lebih ekstrim lagi dikatakan bahwa politik itu tidak bermoral dan kotor.

Sebenarnya dalil2 itu tidak benar, karena berbagai ketentuan mengatur pelaksanaan Pilges berazas bebas, rahasian, jujur dan adil. Dari kata2 tsb menggambarkan politik itu bersih, santun, bermoral dan tidak kotor. Namun semuanya tergantung pada manusianya. Memang dalam setiap Pilges banyak godaan muncul. Demi mencapai target duduk dalam kursi empuk legislatif, sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Berbagai kecurangan dan pelanggaran menghiasi setiap proses penyelenggaraan Pilges. Mulai dari penyusunan DPT, Kampanye, Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, baik itu dilakukan oleh Caleg, oknum aparat penyelenggara dari Pusat sampai Desa maupun Partai dan anggota Partai. Apalagi dalam Pemilu saat ini dengan Partai yang berjumlah puluhan dengan jumlah calon seperti bintang bertaburan dilangit, persaingan ekstra kuadrat ketat, sehingga peluang untuk main curang terbuka lebar apalagi didukung dengan money politics.

Menyadari situasi ini, disinilah arti dan makna PASKAH diaktualisasikan. Tugas panggilan gereja untuk menyampaikan pesan “Suara Kenabiannya”dengan keras dan menakutkan sehingga warganya dalam penyelengaraan Pilges takut berbuat seperti Yudas, Para Imam dan Pilatus karena minimal ada ancaman hukuman moral menggelisahkan seumur hidup. Se-tidak2nya Pesan Kenabian tsb membuat efek dari Pemilu ke Pemilu prilaku Yudas, Para Imam dan Pilatus makin berkurang. Demikian juga dalam kehidupan yang lainnnya Persoalannya beranikah Gereja melakukannya, karena jangan2 Kepemimpinan Gereja juga sudah kesusupan Yudas, Para Imam dan Pilatus sehingga ikut memberikan warna Pemilu yang tidak bersih. Namun kalau Gereja berani melakukannya, apakah warganya akan melakukannya? Kalau mereka mengabaikan dan tidak melakukannya, apakah itu berarti kita PASRAH saja apa yang akan terjadi.

Apabila Paskah hanya menjadi pamor ritual keagamaan rutin yang penuh kemewahan secara fisik tanpa membawa nilai tambah yang siknifikan bagi pertobatan dan pembaharuan secara konkrit, berkualitas dan berkesenimbangun bagi warganya dan itu berarti kita pasrah dengan apa yang terjadi dengan membiarkan bertumbuh dan berkeliarannya Yudas, Para Imam dan Pilatus baru, maka bencana apa yang akan menimpa kita nanti. Walahualam.

Hanya sebuah renungan.

Penulis adalah warga KGPM Sidang Yeremia Jakarta.

Wednesday, April 1, 2009

LEGISLATOR DAN BADUT POLITIK

Mulai tgl. 16 Maret dimulai kampanye terbuka selama 21 hari untuk Pemilu anggota Legislatif di-berbagai tingkat dan Anggota DPD. Para Caleg pasti akan berkompetisi secara habis2an untuk mendapat dukungan para pemilih agar meraih suara terbanyak sebagai syarat utama supaya terpilih sebagai Legislator. Berbagai persiapan telah dan sedang dilakukan para Caleg mulai dari atribut kampanye, dana, tim sukses, materi kampanye, dll. Malahan sejak akhir tahun lalu kampanye telah dimuali dengan memperkenalkan diri kepada masyarakat melalui Baliho, Spanduk, Iklan dengan berbagai tema bahkan ada yang memperalat Tuhan untuk menunjukan ybs adalh orang beriman sehingga diharapkan meraih simpati para pemilih.

Namun dari berbagi komentar masyarakat, banyak yang pesimis bahwa para Caleg tsb mampu dan berani membuat terobosan2 baru untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat dibandingkan para Legislator saat ini yang citranya rusak karena berbagai skandal korupsi, dan moral yang telah, sedang dan akan terungkap nanti. Penilaian masyarakat tsb dapat dipahami karena ada kesan kuat rekrutmen para Caleg pada umumnya tidak memenuhi seleksi dan standard yang obektif baik yang diatur dalam Ketentuan intern Partai maupun Per-Undang2an. Rekrutmen para Caleg sangat terkesan saratnya money politics dan nepotisme.

Kenyataan ini mengundang pertanyaan “Apakah orang yang menjadi Caleg karena money politics dan nepotisme memiliki Kompetensi untuk menjadi Legislator.”

Kompetensi seseorang menjadi Caleg antara lain diatur dalam Undang2 No.10 thn. 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pasal 50 ayat 1 tentang syarat2 seseorang menajadi Caleg DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dimana ada 16 persyaratan. Persyaratan itu meliputi domisili, kesehatan, rangkap jabatan, pendidikan, kecakapan, kesetiaan, dan syarat2 tehnis lainnya.

Dari 16 persyaratan tsb, maka ada beberapa syarat yang menuntut para Caleg tsb harus memiliki Kompetensi, seperti :

1. Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia(pasal 50 ayat 1d). Khusus persyaratan cakap berbicara, tentu bukan asal bicara, asal bunyi(ASBUN). Persyaratan cakap brbicara diartikan sebagai kemampuan Caleg untuk menyampaikan pendapat yang berbobot dan sistimatis, menyanggah atau mendukung pendapat orang/Fraksi lain dan Pemerintah dengan argumentasi yang kuat disertai dengan fakta dan data, serta mampu menyusun kata2 yang di ucapkan dalam suatu kalimat yang memiliki nilai etis, santun dan diplomatis dan di-saat2 tertentu bisa berbicara tegas, keras, lugas dan berani yang orientasinya untuk kepentingan rakyat. Cakap Berbicara dari Caleg dalam konteks tsb diatas hanya akan terwujud bila ybs memiliki dasar pengetahuan yang memadai(tidak cukup SMA atau hanya setingkat) melalui jenjang pendidikan formal dan bukan memiliki gelar karena dibeli(seperti yang menjamur saat ini) dan atau pengalaman berorganisasi yang cukup dari segi waktu dan prestasi.

2. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang2 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita2 Proklamasi 17 Agustus 1945(pasal 50 ayat 1g). Jika dibaca sepintas lalu, persyaratan ini bisa dianggap sepele, tetapi sebenarnya inilah pensyaratan Kompetensi yang paling berat yang harus dimiliki seorang Caleg. Persyaratan ini bukan hanya mensyararatkan Caleg membaca dan menghafalnya, tetapi istimewa menghayati, memahami secara mendasar, mampu menjabarkan dalam berbagai wacana pemikiran dan istimewa mewujudkannya dalam praktek hidup se-hari2. Mungkin ada Caleg (apalagi pendatang baru) yang tidak hafal urutan Pancasila, tidak pernah baca Undang2 Dasar 1945 dan teks Proklamasi. Itu berarti di-rumahnya tidak ada literatur Pancasila, UUD Negara RI thn 1945 dan Teks Proklamasi. Mana mungkin seorang Legislator setia pada Pancasila, UUD 1945 dan Ciata2 Proklamsi 17 Agustus 1945 kalau ybs tidak tahu isinya, apalagi menghayati dan memahaminya secara baik dan benar. Sebagaimana diketahui tugas Legislatif adalah menyusun Undang2(DPR) dan Perda(DPRD), menyusun Anggaran dan melakukan Pengawasan. Semua tugas tsb harus bersumber dan merupakan penjabaran dari UUD Negara RI thn 1945(Pancasila sudah termasuk didalamnya pada Pembukaan Alinea ke-4) dalam rangka mewujudkan cita2 Proklamsi 17 Agustus 1945. Bisa dibayangkan apabila dalam pembahasan dan perdebatan di-Sidang Dewan menyangkut tugas legislasi tsb seorang Legislator tidak menghayati dan menguasai tentang Pancasila, UUD 1945 dan Proklamasi yang menjadi acuan dan pedoman dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam ber-legislatif. Pasti hanya ada 2 pilihan sikap dari legislator model tsb diatas. Sikap pertama adalah diam dan setuju(ikut arus) sambil tepuk tangan atau tunjung pande dengan pidato yang ngawur tanpa arah dan akhir. Belum lagi dalam dia memenuhi tuntutan dan panggilan masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan gagasan berbagai hal dalam posisinya sebagai Anggota Yang Terhormat, Wakil Rakyat, setiap saat harus siap dan bersedia. Mana mungkin Legislator yang tidak memenuhi syarat pasal 50 ayat 1g diatas mampu dan berani memenuhi tugas panggilan tsb diluar Dewan. Tanpa membanggakan diri apalagi arogan, Penulis sewaktu menjadi Legislator Teks Pancasila dan Proklamasi, Pembukaan UUD 1945 dengan pasal2 yang menyangkut Eksekuitf, Legislatif dan Yudikatif hafal diluar kepala. Semoga contoh ini juga dapat di-ikuti oleh para Caleg yang saat ini sedang bertarung untuk menggapai kursi Anggota Yang Terhormat.

3. Menjadi Anggota Partai Politik Peserta Pemilu(pasal 50 ayat 1n). Persyaratan ini mengharuskan seorang Caleg mewakili dan diutus oleh Partai politik yng sah menurut ketentuan yang berlaku. Disisi lain persyaratan ini menuntut seorang Legislator harus benar2 menjadi politisi yang handal artinya memahami secara utuh akan Tujuan dan Fungsi serta Hak dan Kewajiban Partai Politik sebagaimana diatur dalam pasal 10,11, dan 12 Undang2 No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Adalah sangat ironis dan memprihatinkan bila seorang politisi anggota partai politik belum pernah membaca Undang2 No.2 Tahun 2008 ttg Partai Politik.

Dalam kenyataan terkesan kuat banyak Caleg yang belum mengetahui apalagi memahami akan Tujuan, Fungsi serta Hak dan Kewajiban Partai Politik. Sehingga yang terjadi Partai Politik hanya dijadikan sarana/alat untuk mencapai ambisi pribadi seperti menjadi Caleg tanpa berperan untuk membesarkan Partai menjadi alat perjuangan untuk membangun Bangsa dan Negara. Banyak contoh membuktikan adanya orang2 yang setiap Pemilu pindah Partai hanya untuk menjadi Caleg dengan nomor urut memadai yang pencapaian nomor urutnya mungkin dengan berbagai cara halal dan haram yang kemudian kelabakan setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan seorang Caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Dalam kenyataan banyak kader partai yang setia dan telah berjuang keras membesarkan partai tersisih dalam proses pencalegan karena cara2 tsb serta maraknya money politics dan kuatnya nepotisme yang bersumber dari struktur kekuasaan partai maupun kekuasaan Pemerintahan.
Kompetensi seorang Caleg sebagaimana diutarakan diatas akan diujicoba mereka dalam kampanye saat ini melalui penawaran program dan disisi lain mereka akan diuji oleh masyarakat pemilih apakah Caleg ybs memiliki kompetensi tsb dan layak untuk mewakili mereka sebagai seorang Legislator.

Apabila ada Caleg yang tidak memiliki kompetensi tsb kemudian terpilih menjadi Legislator, maka pasti ybs akan menjadi BADUT POLITIK dalam panggung politik di-Lembaga Politik yang bergengsi bernama Dewan Perwakilan Rakyat(Pusat dan Daerah). Kehadiran Badut Politik tsb dalam lembaga bergengsi dan terhomat itu pasti akan merusak citra dan wibawa Dewan. Karena penampilan(ocehan)nya pasti menertawakan masyarakat, bukan karena lucu sehingga tertawa tetapi karena memalukan. Demikian pula prilakunya bisa menggelikan, mengundang dan umpatan masyarakat karena tidak santun, beretika dan bermoral.

Agar para Badut Politik tsb tidak menggapai kursi dalam Dewan, maka adalah tugas para pemilih untuk menilai secara cermat dan akurat para Caleg tsb dalam kegiatan kampanyenya baik program yang ditawarkan, kemahiran berbicara(ini penting karena tugas utama Legislator), pendidikan dan pengalamannya. Disamping itu track-record ybs apakah tidak tersangkut pidana(korupsi, dll), kasus moral(PIL dan WIL), kasus HAM yang berat, pemabuk(karena doyan minuman keras), dll. Sangat ideal memang apabila para pemilih memiliki informasi yang lengkap mengenai Caleg atas hal2 tsb diatas. Masalahnya dewasa ini terkesan masyarakat tidak antusias lagi dengan Pemilu dan tidak peduli siapa calonnya karena semua Pemilu yang berlangsung sejak Republik ini merdeka sampai saat sekarang ini tidak membawa perubahan yang sangat berarti dalam mengentaskan kemiskinan, penegakan keadilan dan hukum, pemerataan pendapatan dan pembangunan, pembangunan dan penegakan demokrasi yang bebas dari kecurangan.

Dilema ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk berperan serta secara proaktif dan kritis untuk memberi andil dalam membangun suatu demokrasi yang sehat, dinamis, bermutu, tansparan dan berbudaya dari Pemilu ke- Pemilu tanpa putus asa.

Tulisan ini kiranya berguna bagi para Caleg yang terpilih nanti sebagi masukan untuk mawas diri, memperbaiki dan melengkapi diri secara maksimal dan kontinyu agar tidak masuk kategori sebagai Badut Politik.

Penulis mantan Legislator 1971-1999.