Monday, September 7, 2009

Pionir PLTN dan Pilihan Indonesia

Uni Soviet (waktu itu) adalah negara pertama di dunia yang memiliki pembangkit lis- trik tenaga nuklir (PLTN) yang terletak di Obninsk, sekitar 100 km dari Moskwa. PLTN ini beroperasi 26 Juni 1954 berkapasitas 5 Mwe, dengan tipe reaktor Presurized Water Graphite Reactor. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, ikut menghadiri peresmian pengoperasian reaktor tersebut. Setelah beroperasi sekitar 48 tahun, PLTN itu di-shutdown pada 29 April 2002 untuk di-decommission.

Negara kedua yang memiliki PLTN adalah Inggris, dengan dua unit bernama Calder Hall Unit A dan Unit B. Keduanya berlokasi di Cumbria yang dibangun 1 Agustus 1953. Unit A beroperasi 27 Agustus 1956 dan Unit B 1 Februari 1957. Masing-masing berkapasitas 50 Mwe dengan tipe reaktor GCR (Gas Cooled Reactor). Operatornya BNFL (British Nuclear Fuels plc) dan pemasok reaktor UKAEA (United Kingdom Atomic Energy Authority). Keduanya telah di-shutdown.

Negara ketiga adalah Amerika Serikat. PLTN komersial pertama skala besar di AS dioperasikan di Shippingport, Pennsylvania, 2 Desember 1957, yang beroperasi sampai 1982 dengan kapasitas 60 Mwe. Negara keempat, Prancis, dengan nama G-2 (Marcoule) berkapasitas 38 MWe dan tipe reaktornya GCR, sama dengan reaktor pertama di Inggris. Operatornya COGEMA (Compagnie Generale des Matieres Nucleaires), sedangkan pemasok reaktornya SACM. PLTN ini telah di-shutdown.

Di Asia, perintis PLTN adalah Jepang, dengan nama JPDR, yang terletak di Ibaraki, berkapasitas 13 MWe dengan tipe reaktor BWR. Operatornya JAERI (Japan Atomic Energy Research Institute) dan pemasok reaktornya GE (General Electric). Teknologi reaktor PLTN pertama di Jepang diambil dari AS. PLTN ini telah di-decommission.


Peta PLTN Dunia

Dari data PRIS (Power Reactor Information System) 18 April 2008, tercatat PLTN tersebar di 30 negara, dengan rincian sedang beroperasi 439 unit, sedang dibangun 35 unit, dan long term shutdown 5 unit. Dari 439 unit yang beroperasi, terbanyak di AS, yaitu 104 unit menyusul Prancis 59, Jepang 55, Rusia 31, Korea Selatan 20, Inggris 19, Kanada 18, Jerman dan India masing-masing 17, Ukraina 15, Tiongkok 11, Swedia 10, di samping negara-negara lain yang memiliki jumlah yang lebih sedikit di bawah 10 unit.

Dari 439 unit yang sedang beroperasi, tipe reaktor yang paling dominan adalah PWR 265 unit, menyusul BWR 94, PHWR 44, sedangkan tipe lain di bawah 20 unit. Tipe reaktor di AS berimbang antara tipe PWR 69 unit dan BWR 35. Di Prancis 100 persen (59 unit) menggunakan tipe PWR. Jepang menggunakan 2 tipe, PWR 23 unit dan BWR 32. Rusia menggunakan tipe PWR dan LWGR masing-masing 15 unit secara berimbang dan ada satu unit dengan tipe FBR. Inggris memiliki 18 unit tipe GCR dan satu unit tipe PWR. Kanada 100 persen (18 unit) tipe PHWR. Jerman tipe PWR 11 unit dan BWR 6. Korea Selatan PWR 16 unit dan PHWR 4. Tiongkok tipe PWR 9 unit dan PHWR 2.

Tipe PWR dan BWR yang paling banyak digunakan. Teknologinya semula berasal dari AS, namun Prancis mengembangkan sendiri teknologinya khususnya reaktor tipe PWR oleh FRAMATOME.

Jepang juga mengembangkan teknologinya, khususnya tipe PWR dan BWR. Tipe PWR oleh MHI (Mitsubishi Heavy Industry), tipe BWR oleh Toshiba dan Hitachi. Namun, ada juga kerja sama dengan induk asal mula teknologi tersebut. Untuk tipe PWR oleh MHI bersama WH (Westinghouse) dan tipe BWR oleh Hitachi bersama GE (General Electric) atau Toshiba bersama GE.

Dari 35 unit PLTN yang sedang dibangun, di Rusia 7 unit, Tiongkok dan India masing-masing 6, Korea Selatan 3, Ukraina dan Bulgaria masing-masing 2 dan beberapa negara di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Asia termasuk Iran masing-masing satu unit. Dari 35 unit yang sedang dibangun, tipe PWR sebanyak 26 unit, PHWR 4, , BWR dan FBR masing-masing 2 dan LWGR 1.
Pilihan Indonesia

Pada awalnya Pemerintah Indonesia secara bulat telah memutuskan bahwa PLTN pertama akan beroperasi di Indonesia pada 2016. Namun, dalam perkembangannya terasa ada kendala tersembunyi. Namun, apa pun penilaian kita harus diakui bahwa titik terang dan sikap kompak pemerintah yang didukung oleh DPR dalam rencana membangun PLTN terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sangat disayangkan adanya sikap yang tidak konsisten dari sementara pihak serta kepentingan politik terlalu dominan apalagi posisi politik Presiden bukan dari kekuatan mayoritas, maka rencana pembangunan PLTN tersebut berada di persimpangan jalan. Tetapi, bertolak dari pemikiran bahwa PLTN menjadi andalan dan prioritas utama untuk mengatasi krisis energi maka upaya untuk melanjutkan persiapan-persiapan mulai dari penentuan lokasi (ada 3 pilihan alternatif), pendanaan dan sistemnya, pilihan teknologi (tipe reaktor), konstruksi, sosialisasi, dan lain-lain harus berlanjut dan tidak boleh berhenti.

Tanpa mengurangi aspek-aspek lainnya, maka yang utama dari persiapan pembangunan PLTN adalah pilihan sistem pendanaan yang juga terkait dengan teknologinya. Pendanaan bisa melalui pola pendanaan konvensional (single-package full turnkey contract) atau pola pendanaan alternatif seperti BOT (build-operate-transfer), BOO (build-own-operate) atau pola imbal beli (counter trade). Di samping itu, upaya sosialisasi PLTN yang intensif dan ofensif secara andal, berkualitas, transparan dan jujur kepada masyarakat harus dilakukan secara kontinu melalui berbagai cara dan media. Dukungan masyarakat atas kehadiran PLTN adalah mutlak. Dukungan masyarakat akan diraih apabila seluk-beluk PLTN dipahami secara baik dan benar melalui informasi yang akurat dan benar serta manfaat yang diperoleh dengan kehadiran PLTN.

Dewasa ini negara yang paling agresif menawarkan diri kepada negara lain untuk berpartisipasi membangun PLTN adalah Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Jepang, karena di samping memiliki dana teknologi mereka telah maju, mandiri, berpengalaman dan juga terbukti andal.
Namun, apa pun pilihannya baik segi pola pendanaan maupun teknologinya dan dari negara manapun yang menjadi pilihan untuk membangun PLTN, sudah tentu pilihan Indonesia tetap berorientasi pada kepentingan nasional. Artinya, pola pendanaan apa pun yang akan diambil secara ekonomi harus tetap menguntungkan bangsa dan karena itu harus melalui perhitungan yang matang serta akurat. Demikian juga teknologinya harus memiliki jaminan keselamatan manusia dan lingkungan. Teknologinya telah terbukti andal, efisien, murah dan dapat beroperasi sesuai standar (60 tahun) ditambah persyaratan standar lainnya di samping persyaratan subjektif dari pemerintah Indonesia.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia, mantan anggota DPR/MPR.

No comments:

Post a Comment