Wednesday, September 9, 2009

PLTN Terapung dan Prospeknya

Saat ini, 436 unit pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas 370.221 MWe beroperasi di 31 negara. Lokasi semua PLTN berada di darat, dekat laut atau sungai, karena memerlukan pasokan air yang cukup dan terjamin. Dewasa ini, sedang dikembangkan PLTN terapung. Yang dimaksud dengan PLTN terapung adalah PLTN yang dipasang di atas tongkang atau kapal lengkap dengan switchyard dan peralatan tansmisi yang dapat berpindah tempat dengan menarik tongkang/kapal tersebut dengan kapal lain.

Gagasan pertama tentang PLTN terapung konon berasal dari Richart Eckert, Wakil Presiden New Jersey Public Service and Gas Amerika Serikat. Westinghouse Corporation dan Tenneco telah menunjuk perusahaan barunya, Offshore Power Systems, untuk membangun beberapa unit PLTN terapung dari jenis PWR dengan kapasitas masing-masing 1.150 MWe yang akan ditempatkan 12 mil di timur laut Atlantic City dan semula direncanakan beroperasi 1980-1981. Namun, proyek ini dihentikan, karena berbagai alasan, seperti penolakan dari pihak penguasa, masyarakat, dan kelemahan dari segi ekonomi.

Di Indonesia terdapat contoh pembangkit listrik terapung, yaitu PLTG (pembangkit listrik turbin gas) yang dibuat oleh PT PAL bekerja sama dengan perusahaan Ishikawajima Harima Heavy Industries dari Jepang. PLTG tersebut berkapasitas 30 MW dan terletak di atas tongkang yang dilengkapi dengan penyimpanan bahan bakar solar dan switchyard. PLTG terapung ini dipesan dan dioperasikan PT PLN di sektor Barito, Gardu Induk Seberang Barito, di tepi Sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Riwayat PLTN terapung sebagai sumber energi di Rusia sangat panjang, yang berawal dari penggunaan reaktor nuklir ini untuk sumber energi bagi propulsi kapal pemecah es.

PLTN terapung sebenarnya telah dikumandangkan pada 1999. Awalnya, PLTN terapung ini telah mendapat izin dari Ros-tech-nadzor (seperti Bapeten Indonesia), baik mengenai desain, tapak maupun pembangunan pembangkit listrik terapung. Kemudian, 28 Oktober 2002, Kementerian Tenaga Nuklir Rusia memberikan persetujuan resmi atas desain teknis sebuah PLTN terapung dengan modifikasi/nama KLT-40S dan mendanai proyek ini mulai akhir 2002.

Pembangunan PLTN terapung pertama di dunia ini menghasilkan listrik dan panas. Lokasinya semula adalah Pevek, di Chukotka (pantai utara Rusia wilayah barat laut). dan direncanakan beroperasi mulai 2008. Rincian teknis PLTN Terapung Pevek ini antara lain kapasitasnya (minimal) 2x35 MWe, daya pemanasan (minimal) 2x25 Gkal/jam, memiliki dua reaktor yang dipasang di atas tongkang. Tongkang itu sepanjang 140 m, lebar 30 m, tinggi lambung 10 m, bagian di bawah air 5,6 m, bobot mati 21.000 ton dan umur ketahanan keseluruhan 40 tahun. Di atas tongkang itu terdapat enam kompartemen, yaitu di samping kompartemen reaktor, juga kompartemen khusus untuk penyimpanan bahan bakar bekas, kompartemen turbin generator, kompartemen mesin listrik, kompartemen alat bantu, dan konpartemen tempat tinggal. Ternyata rencana Khukotka ini baru sampai pada nota kesepakatan. Kemudian, penempatan KLT-40S dipindahkan dari Pevek ke Severodvinsk (pantai utara Rusia wilayah barat laut). Rencana pembangunannya baru akan dimulai pada 2011.


Peluang

PLTN terapung dengan kapasitas di bawah 100 MWe ini sangat cocok di Indonesia, sebagai negara kepulauan, untuk ditempatkan di daerah-daerah yang sering mengalami krisis listrik, karena kapasitasnya terbatas. Para pimpinan daerah perlu mengetahui keberadaan PLTN rerapung ini sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan pasokan listrik di daerahnya. Sebagaimana diketahui PLTN terapung di samping menghasilkan listrik, juga melakukan proses desalinasi yang dapat menghasilkan air bersih.

Disadari, masalah energi di Tanah Air kita tidak mungkin lagi diatasi dengan pembangunan pembangkit listrik konvensional yang berbasis bahan bakar fosil, karena berbagai masalah, seperti pemasokan, lingkungan, dan kondisi alam. Untuk itu, perlu terobosan baru dengan perencanaan matang serta perhitungan cermat dengan risiko terendah.

Namun, pembangunan PLTN terapung tidak sepi dari tantangan. Di Rusia, Green Cross menentang pembangunan PLTN terapung ini dengan berbagai alasan, seperti hitungan biaya terlalu murah, membahayakan lingkungan, menimbulkan bahaya proliferasi dan terorisme, Kita pahami LSM yang anti-PLTN pasti selalu mencari alasan apa pun sebagai dasar untuk menolak kehadirannya di suatu wilayah. Kendala lain untuk pembangunan PLTN terapung adalah belum adanya safety regulation secara internasional dari IAEA, karena pada umumnya, baik IAEA maupun negara-nagara pemilik PLTN dan belum memiliki PLTN seperti Indonesia, baru memiliki safety regulation untuk pembangunan PLTN di darat.

Sejalan dengan proses waktu, saya yakin kendala ini akan segera teratasi bersamaan dengan kebutuhan energi yang terus meningkat dengan harga yang kompetitif. Usaha sosialisasi atas proyek PLTN terapung juga memegang peranan penting untuk mengatasi berbagai kendala.

Penulis adalah anggota HIMNI dan mantan anggota DPR/MPR. Sumber tulisan ini buku karya Mursid Djokolelono, berjudul PLTN Terapung untuk Produksi Listrik dan Air Bersih, Sebuah Opsi Bagi Wilayah Kepulauan
________________________________________

No comments:

Post a Comment