Monday, September 7, 2009

PLTN di Persimpangan Jalan

Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia masih mengundang kontroversi dan debat kusir berkepanjangan, yang hasilnya tidak mendidik, bahkan membingungkan dan menyengsarakan rakyat. Menjadi kontroversi karena pihak pro dan kontra terus mempertahankan pendapatnya tanpa adanya mediator yang mampu untuk mendekatkannya, apalagi mencapai kesepakatan yang memihak ke- pentingan rakyat.

Menjadi debat kusir karena ada sementara pihak yang tidak memiliki informasi yang memadai soal PLTN, namun begitu percaya diri dan arogan, sehingga terjadi disinformasi tentang PLTN yang muaranya membodohi dan menyesatkan rakyat. Bahkan ada dari kelompok ini yang apriori menolak PLTN tanpa alasan yang argumentatif dan rasional. "Pokoke PLTN no," kata mereka.

Juga sangat memprihatinkan adanya elite politik yang bermuka dua. Dalam Komisi di mana dia menjadi anggotanya setuju dan mendukung pembangunan PLTN, tetapi di forum lain menolak PLTN. Di tengah kontroversi dan debat kusir ini, sebenarnya tugas pemerintah dalam suatu koordinasi yang kuat dan rapi untuk menyosialisasikan secara intensif, transparan, jujur, dan benar melalui informasi akurat, objektif, dan ilmiah di- tambah informasi dari pengalaman negara-negara lain yang telah mengaplikasikan energi nuklir.

Dalam kenyataan, upaya standar yang dikemukakan di atas tidak pernah terjadi, yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang langkah-langkah persiapannya membangun PLTN mulai konkret. Akibatnya, rencana pembangunan PLTN di sekitar Semenanjung Muria, Jawa Tengah terkatung-katung, apalagi terjadinya demonstrasi sekelompok masyarakat di sekitar lokasi tersebut menolak kehadiran PLTN di wilayahnya.


Pro dan Kontra

Berdasarkan hasil kajian Panitia Teknis Energi, maka Bakoren (Badan Koordinasi Energi Nasional) dalam rapatnya pada 1981 memutuskan setuju membangun PLTN di Indonesia. Namun, beberapa hari kemudian Bakoren mengadakan rapat kembali untuk membatalkan keputusan persetujuan tersebut setelah mendengar penjelasan se- orang anggota Kabinet.

Pada era Orde Baru rencana pembangunan PLTN muncul kembali di tataran eksekutif ataupun legislatif. Timbul wacana pro dan kontra di tengah masyarakat yang makin hari makin tajam. Anggota Kabinet ikut nimbrung dalam pro dan kontra. Di tengah situasi yang tidak kondusif bagi rencana pembangunan PLTN, pemerintah bersama DPR berhasil menetapkan UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai salah satu payung hukum pembangunan PLTN.

Saat pengalihan kekuasaan dari Orde Baru ke era Reformasi, rencana pembangunan PLTN menjadi redup. Namun, setelah dunia mulai menghadapi krisis energi yang serius pada awal 2000-an dan bergejolaknya harga minyak yang tidak dapat diprediksi secara akurat, menyadarkan banyak negara untuk mengambil opsi ke pembangunan PLTN sebagai prioritas mengatasi krisis energi, termasuk Indonesia. Pemerintahan SBY secara konkret mengambil langkah-langkah persiapan pembangunan PLTN. Mulai dari menetapkan blue print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, di mana ditetapkan roadmap Industri Energi Nuklir yang intinya tender PLTN unit 1 dan 2 tahun 2008, pembangunan PLTN 1 dimulai 2010 dan beroperasi 2016. Tahun 2025 direncanakan empat PLTN beroperasi.

Kemudian dikeluarkan Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Pasal 2 ayat 2b butir 6 di- tegaskan, pada 2025 peranan dari energi baru dan terbarukan lainnya (energi nuklir masuk di dalamnya) menjadi lebih dari 5 persen. Di sisi lain situasi nasional cukup kondusif dan positif mengenai rencana pembangunan PLTN. Hal itu ditandai dengan dukungan DPR secara utuh melalui kesimpulan rapat Komisi VIII dan pemerintah.

Tokoh-tokoh masyarakat yang pada Orde Baru sangat menentang kehadiran PLTN di-Indonesia berubah sikap menjadi bersahabat dengan PLTN. Dalam Kabinet Presiden SBY terkesan kuat semua anggota Kabinet, khususnya mereka yang terkait dengan pembangunan PLTN (Menteri ESDM, Ristek, Lingkungan Hidup dan PLN), secara kompak mendukung sepenuhnya. Kesan itu dapat kita baca pada berbagai statemen mereka di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, Presiden SBY sendiri dalam kunjungan ke luar negeri mengambil kesempatan untuk melihat dari dekat pengoperasian PLTN, seperti, di Korea Selatan beberapa waktu lalu.

Melihat adanya titik terang itu maka berbagai delegasi dari luar negeri berkunjung ke Indonesia. Presiden dan Menlu Korea Selatan, berkunjung ke Indonesia untuk menjajaki kerja sama nuklir yang tentunya berharap mereka bisa membangun PLTN di Indonesia. Korea Selatan begitu intensif dan agresif dalam menjajaki kerja sama dengan Indonesia.


Berubah Pikiran

Memasuki 2008, yang seharusnya sesuai jadwal proses tender pembangunan PLTN dimulai, ternyata suam-suam saja, tidak ada kabar berita sedikit pun. Tidak ada lagi pejabat pemerintah yang berbicara soal PLTN. Apa ada larangan, takut atau berubah pikiran? Suasana ini sangat mengusik sehingga timbul pertanyaan, ada apa di balik sikap diam itu?

Setelah lama merenung dalam suasana prihatin disertai perasaan percaya atau tidak, penulis mencoba menerka dengan mengemukakan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah sikap itu karena adanya penolakan PLTN oleh sekelompok masyarakat di Jawa Tengah, sehingga pemerintah ragu atau takut? Kedua, apakah sikap itu terkait dengan persiapan Pilpres 2009 untuk meraih dukungan suara? Ketiga, apakah sikap diam itu karena adanya kompromi di antara elite kekuasaan karena pesanan pihak luar? Keempat, pertanyaan lain yang bisa muncul dari mereka yang peduli dengan PLTN.

Apabila butir pertama di atas sebagai alasan pemerintah mengurungkan niat membangun PLTN maka sikap itu memprihatinkan, karena dalam sejarah pembangunan PLTN di negara- negara lain, tidak pernah pemerintah kalah atas kelompok anti-PLTN. Pemerintah selalu berhasil meraih dukungan masyarakat melalui sosialisasi.

Bila karena khawatir berdampak negatif pada pencalonan SBY di pilpres mendatang, penulis berpendapat sebaliknya. Isu pembangunan PLTN akan mendongkrak suara SBY, asal disertai sosialisasi yang cerdas dan akurat, dengan menggalang semua potensi yang memiliki kewibawaan intelektual, sosial budaya dan politik. Sasarannya untuk meyakinkan masyarakat bahwa krisis energi saat ini dan mendatang hanya dapat di- atasi dengan membangun sebanyak mungkin PLTN. Banyak kiat jitu untuk melaksanakannya, sehingga rakyat menerima dan mendukung kehadiran PLTN.

Sikap diam oleh pemerintah soal PLTN sangat mungkin karena butir ketiga di atas. Seperti diketahui, ada rencana pembangunan PLTU berkapasitas 10.000 mw (tahap I) dengan bahan bakar batu bara bekerja sama dengan pihak asing. Kemungkinan diperhitungkan, kehadiran PLTN akan menjadi pesaing berat bagi PLTU, sehingga kehadiran PLTN perlu dibatalkan/ditunda. Bila ada pemikiran demikian, tentu itu tidak beralasan karena kehadiran PLTN di Indonesia bukan menjadi pesaing siapa-siapa, tetapi menjadi pendamping sumber daya energi berbasis hidro karbon, seperti batu bara.

Kemungkinan yang lain, persaingan negara-negara maju untuk memenangkan proyek pembangunan PLTN di Indonesia. Terkesan kuat Korea Selatan berpeluang besar memenangkan tender proyek itu karena pendekatan mereka begitu intensif dan simpatik. Hasil dari pendekatan itu menghasilkan beberapa nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Korsel di bidang nuklir. Apalagi Presiden SBY sudah mengunjungi Korsel dan melihat dari dekat pengoperasian PLTN di sana. Hal ini mungkin menimbulkan kecemburuan pesaing, sehingga dengan segala kemampuan berupaya menunda pembangunan PLTN.

Dugaan tersebut bisa keliru karena pemerintah lebih tahu duduk persoalannya. Bertolak dari uraian di atas, maka timbul pertanyaan: "PLTN, yes or no, atau di antara yes dan no, yang berarti di persimpangan jalan." Kita tunggu perkembangannya.

Penulis adalah anggota HIMNI (Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia)

No comments:

Post a Comment