Monday, September 7, 2009

PLTN Terobos Timur Tengah

Secara historis dan politik, wilayah Timur Tengah meliputi wilayah Afrika-Eurasia. Secara tradisional, Timur Tengah meliputi wilayah atau negara-negara Asia Barat Selatan dan bagian Afrika Utara yang meliputi Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Israel, Jordan, Kuwait, Libanon, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Somalia, Syria, Turki, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Negara-negara Arab dikenal sebagai produsen minyak yang menguasai pasar dunia. Dengan realitas dan potensi ini, sebenarnya mereka bisa mengatur dunia dalam banyak hal. Apalagi, harga minyak dewasa ini sangat mahal, yang tidak pernah terpredikisi, telah memberikan keuntungan yang sangat luar biasa bagi negara-negara penghasil dan pengekspor minyak. Dampak dari harga minyak yang meroket ini sangat merisaukan negara-negara konsumen, khususnya dunia industri.

Negara-negara Arab berada dalam kondisi pembangunan yang berbeda-beda dengan sumber daya dan tingkat pendapatan yang berlainan pula. Juga menghadapi tantangan yang berbeda, sebagaimana tergambar pada meningkatnya permintaan energi (konsumsi per kapita 1.750 kWh per tahun dibandingkan Eropa 6.000 kWh/tahun, Indonesia 500 kWh per tahun), naiknya biaya pembangkitan energi, berkurangnya sumber energi konvensional, meningkatnya ketergantungan terhadap sumber daya fosil, kelangkaan sumber energi, dan penurunan kondisi kualitas lingkungan disebabkan peningkatan konsumsi sumber energi fosil.

Kenyataannya, ada dua sisi ekstrem yang antagonistis, yaitu di satu pihak meningkatnya konsumsi energi (3,8 persen per tahun pada 1985-2005, sedangkan untuk seluruh dunia hanya 1,6 persen per tahun), dan di lain pihak berkurangnya sumber energi konvensional, seperti minyak dan gas.

Tantangan ini makin nyata lagi dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat serta meluasnya pembangunan berbagai proyek akibat keuntungan yang diraih berlipat-ganda hasil lonjakan harga minyak yang fantastis.

Sebenarnya antisipasi opsi nuklir telah muncul pada awal 1990-an. Buktinya, pada 1994Liga Arab mengajak anggotanya untuk meningkatkan pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir. Kemudian, pada 2006, Liga Arab mengulang kembali ajakannya yang secara spesifik terarah pada penetapan proyek reaktor pada suatu wilayah. Pada Desember 2006 dalam pertemuan Dewan Kerjasama Teluk, para pejabatnya mengatakan bahwa mereka sedang melakukan eksplorasi atas kemungkinan terwujudnya program nuklir.

Langkah yang lebih maju lagi terjadi pada pertemuan tingkat tinggi Liga Arab pada Maret 2007, yang menetapkan bahwa negara-negara Arab akan memperluas pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud damai. Semua hasil pertemuan tersebut merupakan suatu dukungan politik dari negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab untuk kehadiran tenaga nuklir di wilayahnya.


PLTN di Timteng

Dengan adanya kebijakan negara-negara Timur Tengah/Arab membuka pintu bagi kehadiran tenaga nuklir untuk maksud damai, maka peluang ini dimanfaatkan oleh negara-negara produsen iptek nuklir, seperti: Amerika Serikat, Prancis, Rusia, dan Kanada. Namun, dari semua negara itu, Prancis paling agresif dan proaktif menawarkan kerjasama pembangunan PLTN.

Berdasarkan catatan sejarah, 40 tahun lalu Prancis telah menjual teknologi nuklir damai kepada Saddam Hussein. Pada 1970-'an di Bushehr, Iran, semula akan dibangun reaktor nuklir desain Jerman hasil kerja sama Jerman dengan Iran. Namun, proyek ini tidak jalan. Di tempat yang sama, saat ini sedang dibangun reaktor nuklir (PLTN) desain Rusia, yang beberapa tahun terakhir ini menimbulkan kontroversi global.

Intinya ada kecurigaan sementara pihak bahwa di dalam fasilitas PLTN itu Iran sedang mengayakan uranium menjadi bahan baku untuk pembuatan senjata nuklir. Kecurigaan itu dibantah oleh Iran bahwa pembangunan PLTN adalah untuk tujuan damai.

Sejak terpilih menjadi Presiden Prancis pada Mei 2007, Sarkozy telah tiga kali melawat ke Timur Tengah. Hasil lawatan itu, Prancis telah menandatangani kerja sama nuklir dengan beberapa negara di Timur Tengah, seperti Lybia, Aljazair, dan Uni Emirat Arab. Dalam kesempatan kunjungan itu, Sarkozy telah menawarkan hal yang sama kepada Mesir dan Arab Saudi.

Di sisi lain, Mesir telah merencanakan pembangunan empat reaktor nuklir. Reaktor pertama akan berfungsi pada 2010.

Pada Februari 2007, IAEA (International Atomic Energy Agency) telah berjanji kepada Dewan Negara-negara Teluk untuk menyediakan tenaga ahli untuk mempercepat rencana nuklir mereka. Namun, kehadiran PLTN di Timur Tengah bukan tanpa tantangan.

Diplomasi nuklir Presiden Sarkozy ke Timur Tengah, apalagi ke Lybia, mendapat kritikan dari berbagi pihak di Eropa dan Amerika Serikat, terkait dengan ketakutan pada penyalahgunaan pemanfaatan energi nuklir untuk pembuatan senjata nuklir.

Kita maklum bahwa Timur Tengah khususnya negara-negara Arab adalah penghasil minyak sekaligus pengekspor minyak dan anggota OPEC. Dengan kekayaan minyak dan gas, mereka telah mengantisipasi kebutuhan di masa depan dengan upaya-upaya yang matang dan terencana agar tingkat kesejahteraan rakyat dapat dipertahankan, bahkan dikembangkan sesuai perkembangan zaman.

Indonesia, yang awalnya pengekspor minyak dan mengandalkan minyak untuk sumber penerimaan negara, harus menghadapi kenyataan bahwa kita bukan lagi pengekspor minyak, tapi telah menjadi pengimpor minyak. Itu berarti minyak bukan lagi andalan utama untuk penerimaan negara. Dalam kondisi yang memprihatinkan bahkan membahayakan ini, kita masih arogan dengan sikap tidak serius untuk mencari dan segera membangun secepatnya alternatif lain untuk mengatasi kekurangan energi.

Pilihan strategis dan tepat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membangun PLTN melalui persiapan berbagai perangkat telah mendapat kritik, protes yang menjurus pada politisasi. Dalam kondisi ini, dengan berkaca pada terobosan dan keberanian yang dilakukan negara-negara di Timur Tengah, saatnya Presiden SBY mengambil langkah yang lebih maju dengan segera mengambil keputusan dimulainya pembangunan PLTN.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), anggota DPR/MPR 1987-1999.

No comments:

Post a Comment