Monday, September 7, 2009

PLTN di Korea Selatan

Memasukui abad ke-21, Korea Selatan telah menjadi "macan" Asia. Setelah berhasil melewati krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 90-an, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan sangat spektakuler. Pertumbuhan ekonomi begitu fantastis pada 30 tahun terakhir. Dewasa ini Korea Selatan masuk dalam kategori 11 negara yang ekonominya terbesar di dunia.

Salah satu faktor pendukung kemajuan ekonominya yang begitu fantastis adalah karena kebijakan energinya. Korea Selatan adalah negara yang miskin sumber daya energi fosil. Bertolak dari kenyataan itu maka sejak awal pemerintah Korsel telah menetapkan kebijakan energi yang bertumpu pada empat pokok utama.

Pertama, Korsel sangat bergantung pada impor energi, teristimewa minyak. Karena itu tujuan utama dari kebijakan energi ialah bagaimana memperbaiki pengamanan energi dalam negeri.

Kedua, pengelolaan sektor energi harus menjamin penyediaan energi dengan biaya murah yang akan mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, konservasi energi harus menjadi perhatian utama dalam rangka penyediaan energi.

Keempat, pembangunan energi secara berkelanjutan di mana harmonisasi pembangunan dan pemeliharaan lingkungan sangat penting dilakukan. Opsi pembangunan dan pengembangan energi nuklir dalam bentuk PLTN di Korsel dilatarbelakangi oleh kebijakan energi di atas.

Kegiatan nuklir di Korsel dimulai pada 1957 bersamaan dengan diterimanya Korsel sebagai anggota Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency-IAEA). Sejak tahun tersebut dimulai penelitian untuk pemanfaatan dan pengembangan energi nuklir. Untuk mendukung usaha-usaha itu, pada 1959 didirikan Kantor Tenaga Atom sebagai bagian dari organisasi pemerintah dan sebagai penyesuaian mengikuti arah global dalam memanfaatkan tenaga atom untuk maksud damai. Pada tahun sebelumnya, telah diumumkan berlakunya undang-undang tentang Tenaga Atom.


Kebijakan Industrialisasi

Program pembangunan PLTN di Korsel secara ambisius dimulai pada 1970-an bersamaan dengan kebijakan industrialisasi dan adanya komitmen yang kuat sebagai bagian dari kebijakan nasional untuk mengurangi kebergantungan pada pihak luar dan kebergantungan pada bahan bakar fosil. PLTN pertama di Korsel mulai dibangun pada November 1971 dan operasi komersialnya pada April 1978. Reaktornya bernama Kori 1 dengan kapasitas 650 mw, tipe PWR (Pressurize Water Reactor) dan pemasok reaktor Westinghouse Coy. Lokasi reaktor Kori I ini terletak di Gijang, Busan.

Pada tahun-tahun awal pembangunan PLTN di Korsel, pembangunan konstruksinya melalui "Perjanjian Turnkey" di mana industri domestik hanya memiliki kesempatan kecil untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunannya. Pada saat itu pembangunan konstruksi dan penyediaan teknologi diadopsi dari Westinghouse Coy, Amerika Serikat. Setelah itu, keikutsertaan perusahaan-perusahaan domestik mulai dari manajemen konstruksi, desain, penyediaan peralatan, dan konstruksi sipil makin meningkat melalui adopsi pendekatan "Non Turnkey".

Suatu tingkat kepercayaan diri yang tinggi atas kemampuan menguasai teknologi nuklir dicapai pada saat pembangunan Yonggwang Nuclear Unit 3 dan 4, di mana berbagai perusahaan domestik Korea Selatan terlibat langsung dalam pembangunan reaktor-reaktor tersebut.
Puncaknya tercapai pada 1998 dengan beroperasinya reaktor domestik Ulchin Unit 3 dan 4 dengan kapasitas 1.000 mw tipe PWR yang dibuat oleh Doosan. Reaktor Ulchin Unit 3 dan 4 ini kemudian disebut sebagai PLTN Standar Korea (Korea Standard Nuclear Power Plant-KSNP).

PLTN KSNP membuktikan bahwa Korsel telah mampu membangun dan mengembangkan teknologi energi nuklir secara mandiri tanpa bergantung pada siapapun.

Unit inilah yang kemudian menjadi referensi pembangunan PLTN selanjutnya. Dewasa ini jumlah PLTN yang beroperasi di Korsel 20 unit, di antaranya 16 unit tipe reaktor PWR dan 4 unit PHWR. PLTN yang sedang dalam tahap pembangunan delapan unit yang terdiri dari,

Pertama, reaktor Shin Kori Unit 1 dan 2 tipe PWR dengan plant model OPR-1.000 (Optimized Power Reactor). Direncanakan Unit 1 beroperasi komersial pada Desember 2010 dan Unit 2 pada Desember 2011. Reaktor Shin Kori Unit 1 dan 2 masing-masing berkapasitas 1000 mw. Kedua unit reaktor itu terletak di Busan dan Ulsan.

Kedua, reaktor Shin Wolsong Unit 1 dan 2 tipe PWR dengan plant model OPR 1.000. Operasi komersialnya diperkirakan pada Oktober 2011 untuk Unit 1 dan Unit 2 pada Oktober 2012. Kedua unit reaktor ini masing-masing berkapasitas 1.000 mw dan terletak di Gyeongsangbuk-do.

Ketiga, reaktor Shin Kori Unit 3 dan 4 tipe PWR dengan plant model APR 1.400 (Advanced Power Reactor 1.400). Operasi komersialnya direncanakan September 2013 untuk Unit 1 dan Unit 2 September 2014. Plant model APR 1400 ini merupakan generasi berikut dari tipe reaktor PWR untuk PLTN di Korsel. Kedua reaktor itu masing-masing berkapasitas 1.400 mw dan terletak di Busan dan Ulsan.

Keempat, reaktor Shin Ulchin Unit 1 dan 2 tipe PWR dengan plant model APR 1.400 di mana Unit 1 beroperasi komersial pada Desember 2015 dan Unit 2 pada Desember 2016. Kedua reaktor ini masing-masing berkapasitas 1.400 mw dan terletak di Ulchin.


28 PLTN

Apabila kedelapan reaktor tersebut beroperasi dengan kapasitas terpasang sebesar 9.600 mw maka pada 2014 minimal 28 PLTN beroperasi di Korsel dengan kapasitas terpasang 27.316 mw.

Sebenarnya, di Indonesia proses persiapan, penelitian, dan pembangunan kelembagaan PLTN kurang lebih sama waktunya dengan Korea Selatan, namun karena Indonesia lebih banyak membohongi dirinya sendiri, sampai saat ini belum satu pun PLTN yang dibangun. Akibatnya, sangat rentan terjadinya krisis energi yang dampaknya menggoyahkan berbagai segi kehidupan bangsa.

Saat ini 20 unit PLTN Korsel dengan kapasitas terpasang 17.716 mw, memasok sekitar 27 persen dari kapasitas listrik nasional sebesar 65.514 mw (data tahun 2006). Pada awal pembangunan PLTN di Korsel, pemasok reaktornya semula berasal dari Westinghouse, AS, untuk reaktor Kori 1 sebagai PLTN pertama. Kemudian Kori 2, 3 dan 4 serta reaktor Yonggwang 1 dan 2 pemasok reaktornya juga dari Westinghouse, dan dibangun antara 1971 sampai 1980.

Pada 1977, pemasok reaktor Wolsong 1 adalah AECL (Atomic Energy Of Canada Limited) dari Kanada. Pemasok reaktor Unchin 1 dan 2 adalah Framatom dari Prancis. Memasuki 1990-an, Korsel secara mandiri telah mampu memasok reaktor untuk pembangunan PLTN melalui perusahaan domestik yang mulai memasuki kelas dunia, seperti, KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute) dan KOPEC (Korea Power Engineering Co).

Untuk pembangunan dan pengembangan teknologi nuklir, Korsel melakukan kerja sama bilateral dengan berbagai negara, seperti, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Belgia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Rep. Ceko, Mesir, Prancis, Jerman, Jepang, Rusia, Spanyol, Turki, Inggris, Ukraina,Vietnam, dan Indonesia. Khusus untuk pembangunan PLTN, Korsel sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa negara, termasuk Indonesia.

Korsel merupakan salah satu negara di Asia yang sangat maju dalam penguasaan, pembangunan, dan pemanfaatan teknologi nuklir, khususnya di bidang energi. Perencanaannya matang dan pelaksanaannya konsisten, tidak terpengaruh oleh perkembangan politik. Artinya, walaupun terjadi pergantian pemerintahan, pembangunan, dan pengembangan teknologi nuklir, khususnya pembangunan PLTN, jalan terus sesuai jadwal. Ini menunjukkan bahwa semua pihak di Korsel sadar bahwa perencanaan dan kebijakan energi mereka tidak boleh terganggu dengan terjadinya pergantian pemerintahan.

Di sisi lain mereka sadar bahwa kebutuhan energi tidak boleh hanya bersandar pada cara-cara konvensional, khususnya pada bahan bakar fosil, apalagi sumber daya alam energi, seperti minyak, gas, dan batu bara di Korsel sangat terbatas. Ditambah lagi dengan seringnya terjadi krisis energi dunia (khususnya minyak), yang tentunya sangat mempengaruhi keadaan perekonomian Korsel. Kesadaran yang kuat inilah yang menyebabkan pilihan PLTN mendapat dukungan luas dari rakyatnya.

Indonesia seharusnya belajar dari keberhasilan Korea Selatan dalam kebijakan energi agar pada hari-hari yang akan datang kita mampu dan tegak menghadapi krisis energi. Tidak seperti sekarang, setiap kali terjadi krisis energi dunia, sendi-sendi ekonomi kita guncang dan dampaknya menyengsarakan rakyat.

Penulis adalah anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI).

No comments:

Post a Comment